Skip to main content

Posts

Showing posts from 2021

Tanda Tanya

Dari sekian 1 / 365 yang akan datang barangkali kebiasaan kebiasaan kita adalah menanyakan seberapa besar rasa seberapa dalam sebuah usaha sampai di hatimu itu.  jika semua pertanyaan itu sudah kau tahu Mengapa harus aku cari lebih luas tentang siapa aku dalam milikmu? Bukankah memang kita mengawali penantian dengan saling mendamaikan luka? lalu berharap satu persatu diri kita utuh untuk bisa kembali dicintai dan mencintai. Mengapa? Mengapa ada yang tidak bisa kau maknai bahwa rasa cukup itu ada untuk hati yang penuh. Untuk sebuah kepercayaan yang sungguh.  Ketika aku tak pernah bisa benar benar menjangkau matamu sekali lagi aku tahu aku sudah tenggelam lebih dulu dari apa yang aku lihat setiap pagi Ketika aku tak benar benar mampu mengisi harimu untuk kesekian kali aku tahu aku sudah tidak kau raih tangannya  untuk berkelana kemanapun kau minta. Sudahkah yang kau tunggu sampai? hanya karena aku terlalu bertahan untuk hatimu justru membuatmu berpaling? Berapa kali kau harus

Penghujung

rupanya desember malu-malu aku jadi ragu untuk meninggalkannya banyak yang belum tersampaikan, mungkin, hingga aku tak dapat menerjemahkan satu per satu arti entah rindu, merindu, atau kerinduan desember kali ini kupikir tanpa puisi tetapi, kekasih, segala tentangmu tak lepas dari kata-kata indah sama indahnya seperti angan yang sengaja kubawa ke laut lepas agar ia bebas tanpa mengempas sampai-sampai kita jumpa lagi pada desember berikutnya hitung-hitung yang lama, agar selamanya kala ia sudah tak malu ketika aku tak lagi layak disertai ragu saat kita saling tahu bahwa rasa kita telah menyatu ingku tetap selalu saat kau meratap, saat kau bahagia, ku ingin ada ku di sana ... keadaan yang menyenangkan mungkin di salah satu sisi ketika menyandingi akhir bulan ini yaa, ketika akhir dari drama studi diiringi kenyataan bahwa kau tak lagi sendiri dua ribu dua puluh dua siap untuk datang hebatnya, hati ini tetap jatuh pada pemilik suara yang ku dengar pada pertengahan 2018 saat itu

Petrichor

Kau boleh melanglang buana kemanapun kau suka; kepada seseorang yang dulu pernah membuatmu sesakit itu atau kepada ia yang bisa membujukmu untuk memalingkan pilihan kepadanya. Beberapa waktu lalu, aku mengenangmu pada sebuah malam. Berteman remang lampu kamar dan secangkir teh hangat yang kubuat. Kau seolah-olah datang meyakinkan diri bahwa aku memang sangat merindukanmu—memori di kepala memutar otomatis ketika kita bisa duduk berdua di satu meja; bercerita tentang "Kiblat Peradaban" yang di dalamnya ada seorang lelaki yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada perempuannya di malam hari yang penuh hujan; dan, kembali menyurat hujan di hari-hari yang selalu mendung—itu adalah aku. Begini, dulu aku adalah seseorang yang selalu tahu bahwa kau tidak suka usus, misalnya. Atau seseorang yang berbahagia melihat tawamu pada hal yang sebenarnya biasa saja. Tapi sejujurnya, bahagiamu yang sederhana itu selalu mampu membahagiakanku juga. Dulu, aku adalah seseorang yang sel

Desember

Desember kala itu mulai sedikit kabur, Kasih. Hampir seperti lukisan yang sureal malah. Kau dan aku. Kita menjadi sepasang dara muda yang beranamorfosis, menumbuhkan sepasang sayap baru. Melarikan diri dari terungku sarang-sarang yang muram. Kita begitu naif, aku tahu. Tanpa banyak cendala. Tanpa banyak mendung di bumantara. Tanpa memunculkan angan dalam pusara. Kereta itu menerjang masa lalu yang bergelimang nestapa. Kita menuju, menuju, dengan apa kau menyebutnya? Benar. Sesuatu yang lebih paripurna. Sesuatu yang lebih bergelora. Dari jendela-jendela yang malang itu senja menyusup merambati wajahmu. Meski begitu, dalam pandangku baskara di planet ini telah kalah tanding. Kalah tanding dengan cendayam wujudmu yang lebih amerta dibanding panorama nan fana itu. Maksudku, senja itu jingga, sedang dirimu adalah jatarupa. Maka tidak sudi bila harus kutulis sesuatu yang memuja dan meninggikan derajat senja, sedang di mayapada ini telah dilahirkan sesosok dirimu yang lebih mulia.

Ucap

"Maa" panggilan yang menghangatkan, rindu bercampur haru selalu tertuang ketika menyebutnya. Kesehatan untukmu yang selalu ku langitkan. Maa.. Serta mulia ku ucapkan padamu. Selamat ulang tahun ya maa, semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu teriring. Maa.. Mama sehat-sehat terus yaaa Maa terimakasih telah menghadirkan versi kecilmu Terimakasih beriringan dengan kata maaf, yang ku sadar bahwa kata maafpun tidak sebanding dengan apa yang di tinggalkan Maaa Diri ini sadar akan apa yang dilakukan dan di tinggalkan Tolong maafkan karena itu Menyesal? sangat Bukan bermaksud tidak ingin menanggapi atau bahkan tidak menghiraukan Tapi sadar takut terlalu dalam. Sungguh aku perduli, bukan hanya sekedar ingin mengetahui. Maa Inginku yang sangat tetap memastikan versi kecilmu baik-baik saja Inginku menemani tiap langkahnya dalam melewati hari Inginku berbagi tawa dan cerita dalam melalui hari Maaf jika terlalu lancang pernah berkata "aku sayang mama" Selamat ulang tahun ya maa

Senandika

Aku ingat saat-saat kau menggenggam tanganku erat. Mengucapkan beberapa kalimat yang tentu saja membuatku amat terpikat. Akhirnya kita memilih untuk berserikat. Menjalin hubungan–yang tak pernah terpikir akan tersekat begitu cepat. Hari-hari terus berjalan dengan pancarona menghiasi awan renjana. Tak pernah sekalipun juga hujan berhasil menjalankan misi untuk menghapus semua pusat bahagia. Semuanya sirna dengan sempurna, tatkala tiba-tiba kau mengajakku bersua. Beberapa jam tergulir dengan normalnya, hingga detik kesekian; jantungku sudah siap meloncat dari tempatnya. Aku tertipu dengan normal dalam prasangka. Kupikir, senyummu masih sama. Bahagiamu masih aku salah satunya. Ternyata tidak begitu fakta yang ada. Dengan secepat kilat, kau berkata, "iya, memang sedang dekat dengannya", "walaupun belum kuberi semuanya". Semua itu terbantah dengan kata-kata yang dulu pernah menjadi saling kita, dengan semua kata yang terlanjur ku percaya. dengan semua kekesal

Dera

Kata-katamu yang dulu, apa masih berlaku untuk sekarang? Apakah ada kadaluarsanya? "Batasan pasti nanti terasa ada. Tapi kepercayaan selalu menghancurkan batasan yang mengacau karena keadaan." Kalau begitu, keadaanmu bagaimana? Apakah batasan itu benar-benar bisa hilang karena kepercayaan? Atau kepercayaannya kalah dengan keadaan? Aku percaya kata-katamu. Aku maunya begitu. Kamu perlu tahu, dari perkataanmu,  Ada seseorang yang tidak kunjung usai menyelesaikan paham tentang kata sudah. Ada seseorang yang sulit mengerti jika waktu yang dilaluinya untuk bertahan dibentur kekecewaan. Ada seseorang yang maunya tetap percaya kalau kepercayaan tidak ada kadaluarsanya. Ada seseorang yang maunya tetap percaya kalau kamu dan kata-kata itu bisa berada dalam peluknya dengan kesungguhan. Ada seseorang yang dari jauh terus menyambung benang hidupnya dengan penantian. Apakah pernah terbayang olehmu, seperti apa rupa benang kusut yang dikalahkan keadaan itu sekarang? Apakah bisa kamu jelask

Rumit

Ketika memilih jatuh hati padanya, dia akan menguji kesabaranmu hingga ambang batas, mematahkan hatimu agar lekas pergi darinya, memancing amarahmu akan perasaan yang disia-siakan. Jatuh hati padanya akan memberimu tantangan untuk mengubah seluruh duniamu. Pada akhirnya dia akan membuatmu merasa ingin menyerah, bahwa kata "cukup" akan menjadi ending yang kamu pilih. Dia rumit. Kamu akan melihat segala kekacauan pada diri dan hidupnya pun luka-luka yang sudah dia tahan sejak lama. Kamu haruslah menjadi seseorang yang kuat untuk mampu menopang hatimu yang terabaikan dan hidupnya yang berantakan.  Sebab yang dia butuhkan adalah seseorang yang dapat mengembalikan waktunya yang sudah mati—seseorang yang mampu memahami alasan mengapa dia selalu mendorong orang-orang untuk pergi dari hidupnya—seseorang yang memiliki segala figur yang dia butuhkan untuk menopang jiwanya yang sangat rapuh. Berhubungan dengannya tidak akan berjalan dengan mudah. Namun saat kamu berhasil mem

Afeksi

Aku mengetahui namamu, meski belum mampu tuk menyambut ragamu. Debar jantungku seperti debur ombak tatkala kau lontarkan frasa melalui jemari yang kau tuang dengan kelakar dan angka--kau mungkin tak ingin tahu bahwa aku terlalu pandir untuk menerjemahkan isi kepalamu.  Pernah sekali aku membaca Leviathan, tetapi aku tak sanggup untuk menamatkannya--seperti isi kepalamu yang tidak mudah aku terka. Kau bilang kau sedang menikmati masa senggang sembari menyesap segelas Sephiroth yang kacanya hampir retak, kemudian pikiranmu kau biarkan jatuh bebas di manapun. Bak kanak-kanak yang mengitari taman bermain dengan cita--seolah mereka sanggup bermain untuk selamanya.  Kau acap kali menanyakan tujuan keberadaan manusia-manusia malang. Tentang nasib mereka yang disandera deru derita. Sesekali aku ingin menghiburmu dengan dongeng tentang cinta agar kau bisa beristirahat sejenak, maukah kau meluangkan waktumu sebentar saja, meski terdengar klise?  Aku rela disetubuhi analekta dan menja

Jerat

Pada ruang yang menjelma dingin dan lilin-lilin terbakar habis. Aku meringkuk di sudut ruang tercekik asa yang melambung tinggi, berteman dengan bimbang. Hatiku gundah, sebab kini tali antara kita kian rapuh. Hampir saja aku membiru, berpikir untuk jalan menjauh atau hanya duduk berdiam diri saja sambil sesekali rasakan bara kecemburuanku. Nada-nada romansa nampak samar menipis, tinggal tunggu iramanya hilang dan tak ada lagi terang. Menyelam sakit pada ragu dan muram dalam hati. Berusaha memantapkan diri perihal kamu yang seolah memintaku pergi. Lebur aku ditikam gelisah, sedang kamu tertawa bebas setelah berhasil buat aku patah. Aku tahu sejak lama aku kalah. Kalah dari ragaku sendiri, kalah dari kewarasanku sejak dini— sejak kamu datang dan menorehkan namamu seenaknya di sanubari. Perihal rasa yang tak pernah terganti; walau aku tau bumi berotasi dan sekarang adalah buktinya. Dihadapkan pada pilihan yang terus melayang bagai kunang-kunang. Menetap, tapi dilanda cemas tentang rasa ya

Renjana

Aku secara sadar menulis surat ini, setelah pertemuan terakhir kita beberapa tahun lalu, yang hanya menyisakan berbagai macam canda tawa dan suka duka. Pada setiap jengkal memori dan beberapa potret yang masih kusimpan dengan rapi, ada rindu tersirat di dalamnya.     Mungkin, perpisahan memang bukan hal yang seharusnya terjadi di antara kita. Aku tak pernah siap akan hal itu, jika boleh memilih, aku tak pernah menyesal berjumpa dan bertukar nama denganmu, ketimbang memulai kembali sebuah perjuangan untuk melupakan, bukan berjuang untukmu yang dulu ingin kurengkuh dalam pelukan.    Entah bagaimana mulanya, rindu begitu hebat dapat berbicara; memanggil-manggil sepenggal nama yang selalu kerap kusebut dalam doa. Aku sudah melalui puluhan purnama tanpa satu pun ejaan perihal selembar surat untuk kita bertukar kabar. Aku selalu mencoba untuk terbiasa, ya aku selalu mencoba. Tapi sekeras apapun aku berusaha, namamu telah terpatri lekat dalam basirah. Tidak ada sekecil pun ruang k

Tinta dan Kertas

Kamu adalah riuh yang aku bicarakan pada tinta dan kertas sedangkan kata-kata adalah saksi yang berdiam dalam sunyi. Perihal rasa, mereka adalah teman setia. Tentang rindu, adalah ia yang tak pernah jemu mengendap syahdu. Lalu kamu, menjelma senandika yang kusimpan rapat-rapat. Tanpa isyarat, tanpa syarat.  Walau kita sudah lama tak bertemu dan menyapa, kamu tetap hadir menjadi bayang-bayang di kepala. Berharap hanya sementara, lalu hilang tak bersisa, semoga. Tetapi sayangnya, justru tetap merua saat tak lagi berjumpa. Tanpa titah, tanpa aba-aba mulai mempertanyakan segala logika.  Kamu adalah tentang apa-apa yang tak pernah tersampaikan. Dari segala kata dan jeda yang tak kunjung terlihat habisnya. Mengalir ke satu tempat tujuan. Lalu berkumpul pada sebuah fakta, bahwa inilah yang aku rasakan. Kemudian aku jatuh, berkali-kali diruntuhkan oleh realita. Aku yang menginginkanmu, harus sadar bahwa kamu ternyata menginginkan seorang yang lain.   Bahkan setelah banyak purnama,

9 Belas

Sembilan belas mungkin hanya kata atau bisa jadi itu deretan angka tapi ntah apapun itu, rasanya begitu nyata konteks yang sama walaupun dengan teks yang berbeda ya, ingin bersua Lini waktu yang berbeda serta rentetan angka yang tidak lagi sama tapi ntah, ntah, rasanya masih sama Senang rasanya dapat melihat tawamu kembali hadir senang masih bisa melihat senyum dari wajahmu sore tadi senang masih diberikan kesempatan untuk berbagi walaupun hanya sedikit, ku harap perasaan yang sama juga ada pada dirimu mungkin diri ini terlalu pengecut untuk mengungkapkannya secara langsung mungkin juga terlalu takut akan merusak segalanya sekali lagi mungkin hal terindah yang bisa kita rasakan saat masih hidup adalah mengungkapkan perasaan kita kepada orang terkasih, juga mengungkapkan rasa terimakasih kepada mereka. Terimakasih, untukmu yang selalu jadi alasanku untuk tetap berjuang dan memiliki harapan Terimakasih, untukmu yang selalu menjadi muara dari tiap bait yang selalu ku buat Terimakasih. Jak

Antara Logika Dan Imajinasi

Jika bisa ditapakinya pemandian air panas musim hujan, tanpa atap pembatas dari bias temaram redupnya langit keemasan, mungkin; erat jemarinya dapat menggenggam setiap jengkal irama nadi pemilik nama yang diujarnya setiap hari, secara bersamaan dengan mereka yang mendekati jamuan palsu musim semi, kala bunga-bunga gugur hanya imajinasi dari pelangi-pelangi yang kehilangan intuisi. Tapi dingin kerap kali menyerang, tepat di bawah kaki meradang haus sebab dicarinya sebuah kehangatan. Dibakarnya kayu-kayu kering berlatar air, disulutnya api dari lembab dengan harapan-harapan getir. Asap membumbung tinggi, seirama dengan kelinci yang terbang berkat kepakan tempurung kura-kura. Tak ada asap, tak ada api, kayu-kayu kering tenggelam, seraya buyar lamunan sesaat masuk di alam bawah sadar. Diajaknya bicara matahari saat malam menunjuk pukul dua dini hari, ilusi-ilusi itu layaknya sunyi dan sepi yang memiliki ikatan meski tak terlahir dari rahim ibu suri. Sempurna dengan gelabah yang tertanam di

Lantas

Siang menyingsing seraya embun berpaling Berhias peluh kala surya merajai mata angin Buku lusuh meracau, burung-burung berkicau Aksara berhamburan, inikah pertanda kehilangan? Kuraih diksi yang enggan turun barang sekali Sebab bosan dirangkai menjadi kalimat patah hati Hingga sunyi beranjak pergi, sepi menghkianati Yang tersisa hanya ironi sebagai selimut diri. Kini simfoni tak lagi berdendang di awal hari Sapaan pengganggu mimpi tak lagi menyambangi Hari berat sampai surya tenggelam di ufuk barat Menjadi kisah penat dengan elegi yang melekat. Harapan apalagi yang harus diperjuangkan? Takhta mana lagi yang menjadi kemenangan? Tak ada harap dilingkup bahasa netra berpijak Hanya ada semerbak rindu yang kian menjebak. Aku semakin tersudut di ruang putus asa Merajut dilema di pekatnya ruang tanpa cahaya Elegi tercipta dari percikan bahasa netra Melangitkan aksara—linang kehilangan muara. Jakarta, 01 April 2021

Terlalu

Kamu terlalu sempurna. Untuk kamu yang namanya selalu saya sebut selepas salam di lima waktu, ada banyak harap yang saya gantungkan padamu. Pada lembar-lembar penuh tinta warna-warni, saya berharap suatu saat nanti kita akan bersama dalam satu impian, mengejar bersama apa yang disebut-sebut sebagai masa depan, serta saling menjaga dalam hangat dan manisnya balutan rembulan. Lalu kemudian pada lembar-lembar pemikiran saya yang terlalu bodoh, saya menanamkan bahwa tidak ada kata pantas untuk saya yang bahkan belum bisa apa-apa untukmu yang punya segalanya. Saya mengecilkan diri saya sendiri, saya menyalahkan takdir perihal mengapa saya harus jatuh hati, saya mengeratkan pemikiran bahwa selamanya; kamu tidak akan pernah bisa saya miliki. Karena kamu saya dapat tertawa. Karena kamu saya mampu punya warna. Karena kamu saya bisa jatuh cinta. Karena kamu pula, saya mengerti bahwa mencintai seseorang yang terlalu sempurna adalah sakit paling pahit yang tertunda. Jakarta, 4 Maret 2021

Hujan, apa kabar?

hujan, apa kabar? hal terakhir yang ku ingat ada lembaran bulan di tahun itu hanya menyisakan rindu yang menggebu rindu yang bahkan tak sanggup di ucapkan oleh ku, yang tampak mengering di tengah lahan yang basah permulaan pada tahun ini memang di awali dengan kawanan hujan yang terus membanjiri bumi tapi entah, entah yang kurasa bukan hujan yang ku damba hujan yang hadir kini hanya mengahdirkan segala ekspetasi ya, memang terkadang ekspetasilah yang akhirnya membunuh kita perlahan daun dan bunga riang bukan main memang kala hujan di muka tahun ini tapi hujan, apa kabar? hanya pertanyaan itu yang membanjiri kepala hanya bisa bermain dengan logika tanpa bisa menatap rupa yang hanya bisa mengungkap duka maaf atas segala keegoisanku yang sangat ingin bertatap, yang sangat ingin menetap dan tetap hujan, apa kabar? kuharap akan selalu ada aku di setiap rintik yang engkau turunkan. Jakarta, 1 Februari 2021

Izin

Daun-daun hijau di pekarangan menjelma jiwaku menjaga engkau. Ia tetap diam namun berjalan-jalan menapaki musim hingga kering dan menguning. Kau tahu dengan baik segala usahaku dalam menjaga, namun lebih memilih diam menungguku jatuh lusuh kehilangan tenaga; terinjak tak lagi utuh. Rerumput yang sedang menunggu angin membelai mesra hingga berdansa bersama; kini terdiam. Dengan arif mempersilakan yang ditunggu memberikan waktunya untuk membawaku ke entah apa namanya. Menggunakan waktunya untuk sekadar melihat, sekadar iba, pun sekadar miris dengan rasaku yang tragis. Di sela-sela terombang-ambing, terlihat pancaran mata merah kehitam-hitaman itu menatap datar, seperti memberitahu bahwa empati tak pernah sedetik pun berlabuh berpendar, tak pernah sedetik pun berbisik atau terdengar berisik. Waktu terasa sangat lambat. Hingga kiranya cukup memunculkan kembali tentangmu yang sekarang tak berkutik–meski dulu hanya aku yang kaulirik. kau telah memberikan anugerah terindah dalam hidupku, kau

1/365 (II)

Kembali lagi pada hari dimana langit malam dipenuhi dengan gemuruh, meriah. Salam serta ucapan pun di layangkan serata mendampingi langit malam ini, ada yang mengucapkan ke keluarga, teman, pasangan dan ada yang sendiri, menyendiri, memeluk dinginnya malam teringat akan kenangan selama 365 hari kebalakang, berawal dari malam yang sama, saat langit tak kuasa membending lalu seolah meneteskan air mata sama seperti ku pada malam itu, tak kuasa menahan dan meneteskan airmata di hadapan kawan. malam berganti hari sejak malam itu, hingga tiba di penghujung tahun yang terlah dilalui, sepi kenangan yang terus terhanyut dalam sukma, kenangan yang terasa terlalu manis untuk dibilang pagit kenangan yang selalu bisa membuat tersenyum untuk melanjutkan hari, dan kini hanyalah menjadi kenangan, sirna senang melihat kenyataan bahwa kau dikelilingi oleh orang-orang yang sayang padamu, yang peduli denganmu senang bisa meilhat tawamu di beberapa saat sebelum tahun menutup hari senang masih dapat diizink