Skip to main content

Jerat

Pada ruang yang menjelma dingin dan lilin-lilin terbakar habis. Aku meringkuk di sudut ruang tercekik asa yang melambung tinggi, berteman dengan bimbang. Hatiku gundah, sebab kini tali antara kita kian rapuh.

Hampir saja aku membiru, berpikir untuk jalan menjauh atau hanya duduk berdiam diri saja sambil sesekali rasakan bara kecemburuanku.
Nada-nada romansa nampak samar menipis, tinggal tunggu iramanya hilang dan tak ada lagi terang.

Menyelam sakit pada ragu dan muram dalam hati. Berusaha memantapkan diri perihal kamu yang seolah memintaku pergi.
Lebur aku ditikam gelisah, sedang kamu tertawa bebas setelah berhasil buat aku patah.

Aku tahu sejak lama aku kalah. Kalah dari ragaku sendiri, kalah dari kewarasanku sejak dini— sejak kamu datang dan menorehkan namamu seenaknya di sanubari. Perihal rasa yang tak pernah terganti; walau aku tau bumi berotasi dan sekarang adalah buktinya.

Dihadapkan pada pilihan yang terus melayang bagai kunang-kunang. Menetap, tapi dilanda cemas tentang rasa yang memilih untuk tetap, pula menyakiti diri lebih dari seharusnya. Melepas, tapi raga tak siap menepi dari hati yang tak tahu balas budi.

Jadi, aku harus apa? Bersiap diri menerima kehilangan atau bertahan dengan sejuta kesendirian?



Jakarta, 20 Agustus 2021

Comments

Popular posts from this blog

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Nama Tengah

Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa. Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu. Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu. Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi