Pada ruang yang menjelma dingin dan lilin-lilin terbakar habis. Aku meringkuk di sudut ruang tercekik asa yang melambung tinggi, berteman dengan bimbang. Hatiku gundah, sebab kini tali antara kita kian rapuh.
Hampir saja aku membiru, berpikir untuk jalan menjauh atau hanya duduk berdiam diri saja sambil sesekali rasakan bara kecemburuanku.
Nada-nada romansa nampak samar menipis, tinggal tunggu iramanya hilang dan tak ada lagi terang.
Menyelam sakit pada ragu dan muram dalam hati. Berusaha memantapkan diri perihal kamu yang seolah memintaku pergi.
Lebur aku ditikam gelisah, sedang kamu tertawa bebas setelah berhasil buat aku patah.
Aku tahu sejak lama aku kalah. Kalah dari ragaku sendiri, kalah dari kewarasanku sejak dini— sejak kamu datang dan menorehkan namamu seenaknya di sanubari. Perihal rasa yang tak pernah terganti; walau aku tau bumi berotasi dan sekarang adalah buktinya.
Dihadapkan pada pilihan yang terus melayang bagai kunang-kunang. Menetap, tapi dilanda cemas tentang rasa yang memilih untuk tetap, pula menyakiti diri lebih dari seharusnya. Melepas, tapi raga tak siap menepi dari hati yang tak tahu balas budi.
Jadi, aku harus apa? Bersiap diri menerima kehilangan atau bertahan dengan sejuta kesendirian?
Jakarta, 20 Agustus 2021
Comments
Post a Comment