Aku mengetahui namamu, meski belum mampu tuk menyambut ragamu.
Debar jantungku seperti debur ombak tatkala kau lontarkan frasa melalui jemari yang kau tuang dengan kelakar dan angka--kau mungkin tak ingin tahu bahwa aku terlalu pandir untuk menerjemahkan isi kepalamu.
Pernah sekali aku membaca Leviathan, tetapi aku tak sanggup untuk menamatkannya--seperti isi kepalamu yang tidak mudah aku terka. Kau bilang kau sedang menikmati masa senggang sembari menyesap segelas Sephiroth yang kacanya hampir retak, kemudian pikiranmu kau biarkan jatuh bebas di manapun. Bak kanak-kanak yang mengitari taman bermain dengan cita--seolah mereka sanggup bermain untuk selamanya.
Kau acap kali menanyakan tujuan keberadaan manusia-manusia malang. Tentang nasib mereka yang disandera deru derita. Sesekali aku ingin menghiburmu dengan dongeng tentang cinta agar kau bisa beristirahat sejenak, maukah kau meluangkan waktumu sebentar saja, meski terdengar klise?
Aku rela disetubuhi analekta dan menjadi sang pendosa, jika kau mengizinkan netra kita untuk tetap bertemu--aku bersedia.
Hari ini aku sedang melihat lukisan Claude Monet dengan tatapan nanar. Aku tahu, aku tak sanggup melihatmu lebih lama lagi.
Kau adalah seni paling rumit yang pernah aku imani.
Hari ini seseorang memutar lagu Frank Sinatra,
dan aku akan mengenang dirimu selamanya.
Yang tersisa hanyalah dentingan piano dan alunan terompet yang akan menggema pada sepanjang ingatanku
Jakarta, 1 September 2021
Apa yakin terkaan menjadi jaminan? Atau sebenarnya kamu hanya perlu menikmati segala rumit teka-tekinya? Hiya hiya hiya
ReplyDelete