Skip to main content

Afeksi


Aku mengetahui namamu, meski belum mampu tuk menyambut ragamu.
Debar jantungku seperti debur ombak tatkala kau lontarkan frasa melalui jemari yang kau tuang dengan kelakar dan angka--kau mungkin tak ingin tahu bahwa aku terlalu pandir untuk menerjemahkan isi kepalamu. 

Pernah sekali aku membaca Leviathan, tetapi aku tak sanggup untuk menamatkannya--seperti isi kepalamu yang tidak mudah aku terka. Kau bilang kau sedang menikmati masa senggang sembari menyesap segelas Sephiroth yang kacanya hampir retak, kemudian pikiranmu kau biarkan jatuh bebas di manapun. Bak kanak-kanak yang mengitari taman bermain dengan cita--seolah mereka sanggup bermain untuk selamanya. 

Kau acap kali menanyakan tujuan keberadaan manusia-manusia malang. Tentang nasib mereka yang disandera deru derita. Sesekali aku ingin menghiburmu dengan dongeng tentang cinta agar kau bisa beristirahat sejenak, maukah kau meluangkan waktumu sebentar saja, meski terdengar klise? 

Aku rela disetubuhi analekta dan menjadi sang pendosa, jika kau mengizinkan netra kita untuk tetap bertemu--aku bersedia.

Hari ini aku sedang melihat lukisan Claude Monet dengan tatapan nanar. Aku tahu, aku tak sanggup melihatmu lebih lama lagi. 

Kau adalah seni paling rumit yang pernah aku imani.

Hari ini seseorang memutar lagu Frank Sinatra,
dan aku akan mengenang dirimu selamanya. 

Yang tersisa hanyalah dentingan piano dan alunan terompet yang akan menggema pada sepanjang ingatanku



Jakarta, 1 September 2021

Comments

  1. Apa yakin terkaan menjadi jaminan? Atau sebenarnya kamu hanya perlu menikmati segala rumit teka-tekinya? Hiya hiya hiya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Malu

Apa kau ingat tentang malam itu? Ketika langkah tak lagi searah dan kamu meninggalkanku di belakang, bersama kerapuhan, asa mengangkasa agar kau pun terluka seperti yang ditimpakan padaku Jika pun kau tak melihat kehancuran raga ini Aku meratap, berharap, kau akan merasakannya Aku tak ingin membuat drama, mengajak semua netra menyaksikan agar tahu seperti apa kisahnya Ketahuilah, aku masih ingin menyimpanmu seorang diri Bersama kepingan-kepingan hati yang berserakan, dalam hati aku berharap, kau tetap ada di sana Aku tak menyangkal ketika kau dan dia menghancurkan seluruh percayaku Sayang, tetapi semua kesakitan ku karena terlampau sibuk merajut bahagiamu Salahku tak dapat memperbaiki ketidaksempurnaan ku Kau dan dia, dan aku bersama air mata yang menusuk seperti kepingan kaca, hancur berkeping Aku berharap dapat diperbaiki, tetapi rusaknya sangat parah Hingga tiba langkahku di depan sebuah komedi putar, memandang ke atas, terjuntai pada realita... Bahkan ketika rasaku luru...