Skip to main content

Dua Awan di Langit yang Sama



Kita bagai dua awan yang mengembara,  
terikat oleh angin yang sama,  
namun selalu terhalang cakrawala  
yang memisahkan rindu dari nyata.  

Kau adalah senja yang kusimpan dalam doa,  
warna jingga yang mengalun pelan,  
sedang aku hanyalah fajar  
yang selalu datang terlalu pagi—  
terlalu cepat untuk menyapamu,  
terlambat untuk menahanmu pergi.  

Di antara kita, ada musim yang bersekongkol:  
hujan menjadikan kita asing,  
matahari menjadikan kita bayang-bayang,  
dan malam—  
ah, malam hanya diam  
memungut sisa-sisa percakapan  
yang tak sempat terucap.  

Pernahkah kau dengar  
bisik dedaunan saat rintik mulai turun?  
Itulah suara kerinduanku:  
senyap, basah,  
terbawa arus selokan yang tak punya muara,  
mengalir ke laut yang tak tahu  
betapa dalamnya rindu ini menggenang.  

Kita seperti dua sajak  
dalam buku yang berbeda—  
terkunci oleh sampul yang tak saling mengenal,  
padahal iramanya sama,  
padahal nadanya sebait,  
seperti puisi yang terpotong  
di tengah bait paling indah.  

Andai kata waktu lebih baik pada kita,  
mungkin kita bisa jadi laut dan pasir,  
yang meski tak pernah benar-benar bersatu,  
paling tak selalu bisa bersentuhan,  
berbagi cerita di setiap ombak yang pulang,  
berbisik rahasia di antara butir-butir kepergian.  

Tapi kita hanya dua pelangi yang salah musim:  
kau muncul di barat saat aku menghilang di timur,  
dan semua yang tersisa  
adalah langit yang kosong,  
dan ingatan tentang warna  
yang tak pernah jadi milik bersama,  
hanya bayangan semu  
yang mengusik di antara hujan dan pelupuk mata.  

Aku masih menunggu,  
seperti akar menunggu hujan di kemarau panjang—  
diam, tapi tak pernah berhenti merindu  
dalam setiap seratnya,  
dalam setiap hela nafasnya  
yang menggigil memanggil namamu  
di tengah angin yang tak pernah menyampaikan.  

Dan bila suatu hari nanti  
kita harus tetap menjadi cerita yang terpisah,  
maka ijinkanlah aku menjadi awan  
yang sesekali menitipkan bayangnya  
di hamparan hidupmu—  
meski hanya sebentar,  
meski hanya dalam diam,  
meski hanya sebagai kenangan  
yang mengambang di antara sadar dan mimpi.  

Biarlah waktu yang menentukan  
apakah kita akan bertemu di ujung pelangi,  
atau tetap menjadi dua garis horizon  
yang saling merindu tapi tak pernah bersua.  
Tapi percayalah,  
di setiap tetes hujan yang jatuh,  
di setiap embun yang menguap di pagi hari,  
ada serpihan doa yang kutitipkan  
untukmu, yang selalu menjadi bulan  
di malam-malam sunyi yang kutempuh.



Jakarta, 01 July 2025

Comments

Popular posts from this blog

5%

Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan.   Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen.   Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...