Skip to main content

Renjana


Aku secara sadar menulis surat ini, setelah pertemuan terakhir kita beberapa tahun lalu, yang hanya menyisakan berbagai macam canda tawa dan suka duka. Pada setiap jengkal memori dan beberapa potret yang masih kusimpan dengan rapi, ada rindu tersirat di dalamnya.
   
Mungkin, perpisahan memang bukan hal yang seharusnya terjadi di antara kita. Aku tak pernah siap akan hal itu, jika boleh memilih, aku tak pernah menyesal berjumpa dan bertukar nama denganmu, ketimbang memulai kembali sebuah perjuangan untuk melupakan, bukan berjuang untukmu yang dulu ingin kurengkuh dalam pelukan.
  
Entah bagaimana mulanya, rindu begitu hebat dapat berbicara; memanggil-manggil sepenggal nama yang selalu kerap kusebut dalam doa. Aku sudah melalui puluhan purnama tanpa satu pun ejaan perihal selembar surat untuk kita bertukar kabar. Aku selalu mencoba untuk terbiasa, ya aku selalu mencoba.

Tapi sekeras apapun aku berusaha, namamu telah terpatri lekat dalam basirah. Tidak ada sekecil pun ruang kosong yang tersisa melainkan diisi oleh alkisah penuh makna akan kita yang dulu bersama. Tidak ada sedetik pun terlewati tanpa tawa sukacita yang kita bagi dahulu kala. 
   
Kini aku dipaksa oleh rindu yang terus menerus mempengaruhiku, untuk memulai kembali pada semua hal yang seharusnya kuhindari; menulis surat ini, menggambarkan tiap-tiap rasa yang masih bersemayam di dalam hati. Sungguh, ada getaran hebat di dalam rongga dadaku, tatkala berusaha mengingat kejadian yang sudah berlalu.
   
Kejadian-kejadian manis di mana kita bersua di bawah indahnya senja, menatap netra satu sama lain seakan-akan kita punya segalanya. Aku masih ingat kedua bola matamu yang tak pernah lelah memancarkan kirana surya. 
   
Atau mungkin kau juga ingat duka yang kita lewati bersama; di saat kamu menangis di pelukanku karena ingin tenggelam saja di bawah purnama, atau saat hangatmu menentramkanku yang jatuh karena kehidupan yang runtuh.
   
Silakan kau benci aku dengan segala bentuk apapun itu, perihal untuk tidak mengungkit apa yang pernah terjadi; rasa yang pernah tumbuh, rindu yang bertamu, pada media apa pun untuk memberitahumu. Tapi, yang harus kau tahu; surat ini tidak akan pernah sampai di depan pintu rumahmu. Biar kusampaikan dengan caraku, jika kelak kau membacanya satu hal lagi yang ingin kuucapkan;

   "Maaf, terima kasih dan aku mencintaimu."
   
Renjana menyampaikan salamnya,




Jakarta, 01 Juli 2021

Comments

Popular posts from this blog

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Nama Tengah

Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa. Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu. Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu. Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi