Aku secara sadar menulis surat ini, setelah pertemuan terakhir kita beberapa tahun lalu, yang hanya menyisakan berbagai macam canda tawa dan suka duka. Pada setiap jengkal memori dan beberapa potret yang masih kusimpan dengan rapi, ada rindu tersirat di dalamnya.
Mungkin, perpisahan memang bukan hal yang seharusnya terjadi di antara kita. Aku tak pernah siap akan hal itu, jika boleh memilih, aku tak pernah menyesal berjumpa dan bertukar nama denganmu, ketimbang memulai kembali sebuah perjuangan untuk melupakan, bukan berjuang untukmu yang dulu ingin kurengkuh dalam pelukan.
Entah bagaimana mulanya, rindu begitu hebat dapat berbicara; memanggil-manggil sepenggal nama yang selalu kerap kusebut dalam doa. Aku sudah melalui puluhan purnama tanpa satu pun ejaan perihal selembar surat untuk kita bertukar kabar. Aku selalu mencoba untuk terbiasa, ya aku selalu mencoba.
Tapi sekeras apapun aku berusaha, namamu telah terpatri lekat dalam basirah. Tidak ada sekecil pun ruang kosong yang tersisa melainkan diisi oleh alkisah penuh makna akan kita yang dulu bersama. Tidak ada sedetik pun terlewati tanpa tawa sukacita yang kita bagi dahulu kala.
Kini aku dipaksa oleh rindu yang terus menerus mempengaruhiku, untuk memulai kembali pada semua hal yang seharusnya kuhindari; menulis surat ini, menggambarkan tiap-tiap rasa yang masih bersemayam di dalam hati. Sungguh, ada getaran hebat di dalam rongga dadaku, tatkala berusaha mengingat kejadian yang sudah berlalu.
Kejadian-kejadian manis di mana kita bersua di bawah indahnya senja, menatap netra satu sama lain seakan-akan kita punya segalanya. Aku masih ingat kedua bola matamu yang tak pernah lelah memancarkan kirana surya.
Atau mungkin kau juga ingat duka yang kita lewati bersama; di saat kamu menangis di pelukanku karena ingin tenggelam saja di bawah purnama, atau saat hangatmu menentramkanku yang jatuh karena kehidupan yang runtuh.
Silakan kau benci aku dengan segala bentuk apapun itu, perihal untuk tidak mengungkit apa yang pernah terjadi; rasa yang pernah tumbuh, rindu yang bertamu, pada media apa pun untuk memberitahumu. Tapi, yang harus kau tahu; surat ini tidak akan pernah sampai di depan pintu rumahmu. Biar kusampaikan dengan caraku, jika kelak kau membacanya satu hal lagi yang ingin kuucapkan;
"Maaf, terima kasih dan aku mencintaimu."
Renjana menyampaikan salamnya,
Jakarta, 01 Juli 2021
Comments
Post a Comment