Skip to main content

Izin

Daun-daun hijau di pekarangan menjelma jiwaku menjaga engkau. Ia tetap diam namun berjalan-jalan menapaki musim hingga kering dan menguning. Kau tahu dengan baik segala usahaku dalam menjaga, namun lebih memilih diam menungguku jatuh lusuh kehilangan tenaga; terinjak tak lagi utuh.

Rerumput yang sedang menunggu angin membelai mesra hingga berdansa bersama; kini terdiam. Dengan arif mempersilakan yang ditunggu memberikan waktunya untuk membawaku ke entah apa namanya. Menggunakan waktunya untuk sekadar melihat, sekadar iba, pun sekadar miris dengan rasaku yang tragis.

Di sela-sela terombang-ambing, terlihat pancaran mata merah kehitam-hitaman itu menatap datar, seperti memberitahu bahwa empati tak pernah sedetik pun berlabuh berpendar, tak pernah sedetik pun berbisik atau terdengar berisik.

Waktu terasa sangat lambat. Hingga kiranya cukup memunculkan kembali tentangmu yang sekarang tak berkutik–meski dulu hanya aku yang kaulirik.

kau telah memberikan anugerah terindah dalam hidupku, kau membuatku merasa hidup, untuk pertama kalinya. kau membantuku punya harapan lagi. itu hal yang amat indah.

Entah bagaimana kau berubah, hangatmu berpindah ke suhu terendah. Berkali-kali kubertanya, berkali-kali pula kau menepis itu semua. Aku merana tanpa tahu apa sebabnya. Aku merana tanpa tahu bagaimana memperbaikinya. Namun sial, rasaku tetap sama.

Sekarang, tak kutemui lagi bahagia, tak kutemui lagi nirwana yang sempat tercipta dari kisah tak bernoda, tak kutemui lagi nyawa di dalam raga. Semua, tanpa cela.

Aku menyesali akhir kita,
bukan kita–aku.




Jakarta, 19 Januari 2021

Comments

Popular posts from this blog

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Malu

Apa kau ingat tentang malam itu? Ketika langkah tak lagi searah dan kamu meninggalkanku di belakang, bersama kerapuhan, asa mengangkasa agar kau pun terluka seperti yang ditimpakan padaku Jika pun kau tak melihat kehancuran raga ini Aku meratap, berharap, kau akan merasakannya Aku tak ingin membuat drama, mengajak semua netra menyaksikan agar tahu seperti apa kisahnya Ketahuilah, aku masih ingin menyimpanmu seorang diri Bersama kepingan-kepingan hati yang berserakan, dalam hati aku berharap, kau tetap ada di sana Aku tak menyangkal ketika kau dan dia menghancurkan seluruh percayaku Sayang, tetapi semua kesakitan ku karena terlampau sibuk merajut bahagiamu Salahku tak dapat memperbaiki ketidaksempurnaan ku Kau dan dia, dan aku bersama air mata yang menusuk seperti kepingan kaca, hancur berkeping Aku berharap dapat diperbaiki, tetapi rusaknya sangat parah Hingga tiba langkahku di depan sebuah komedi putar, memandang ke atas, terjuntai pada realita... Bahkan ketika rasaku luru...