Daun-daun hijau di pekarangan menjelma jiwaku menjaga engkau. Ia tetap diam namun berjalan-jalan menapaki musim hingga kering dan menguning. Kau tahu dengan baik segala usahaku dalam menjaga, namun lebih memilih diam menungguku jatuh lusuh kehilangan tenaga; terinjak tak lagi utuh.
Rerumput yang sedang menunggu angin membelai mesra hingga berdansa bersama; kini terdiam. Dengan arif mempersilakan yang ditunggu memberikan waktunya untuk membawaku ke entah apa namanya. Menggunakan waktunya untuk sekadar melihat, sekadar iba, pun sekadar miris dengan rasaku yang tragis.
Di sela-sela terombang-ambing, terlihat pancaran mata merah kehitam-hitaman itu menatap datar, seperti memberitahu bahwa empati tak pernah sedetik pun berlabuh berpendar, tak pernah sedetik pun berbisik atau terdengar berisik.
Waktu terasa sangat lambat. Hingga kiranya cukup memunculkan kembali tentangmu yang sekarang tak berkutik–meski dulu hanya aku yang kaulirik.
kau telah memberikan anugerah terindah dalam hidupku, kau membuatku merasa hidup, untuk pertama kalinya. kau membantuku punya harapan lagi. itu hal yang amat indah.
Entah bagaimana kau berubah, hangatmu berpindah ke suhu terendah. Berkali-kali kubertanya, berkali-kali pula kau menepis itu semua. Aku merana tanpa tahu apa sebabnya. Aku merana tanpa tahu bagaimana memperbaikinya. Namun sial, rasaku tetap sama.
Sekarang, tak kutemui lagi bahagia, tak kutemui lagi nirwana yang sempat tercipta dari kisah tak bernoda, tak kutemui lagi nyawa di dalam raga. Semua, tanpa cela.
Aku menyesali akhir kita,
bukan kita–aku.
Jakarta, 19 Januari 2021
Comments
Post a Comment