Jika bisa ditapakinya pemandian air panas musim hujan, tanpa atap pembatas dari bias temaram redupnya langit keemasan, mungkin; erat jemarinya dapat menggenggam setiap jengkal irama nadi pemilik nama yang diujarnya setiap hari, secara bersamaan dengan mereka yang mendekati jamuan palsu musim semi, kala bunga-bunga gugur hanya imajinasi dari pelangi-pelangi yang kehilangan intuisi.
Tapi dingin kerap kali menyerang, tepat di bawah kaki meradang haus sebab dicarinya sebuah kehangatan. Dibakarnya kayu-kayu kering berlatar air, disulutnya api dari lembab dengan harapan-harapan getir. Asap membumbung tinggi, seirama dengan kelinci yang terbang berkat kepakan tempurung kura-kura. Tak ada asap, tak ada api, kayu-kayu kering tenggelam, seraya buyar lamunan sesaat masuk di alam bawah sadar.
Diajaknya bicara matahari saat malam menunjuk pukul dua dini hari, ilusi-ilusi itu layaknya sunyi dan sepi yang memiliki ikatan meski tak terlahir dari rahim ibu suri. Sempurna dengan gelabah yang tertanam di setiap inti doa, membawanya pada akhir yang bahkan tak pernah diawalinya. Burung-burung masih enggan berkicau, tapi ia melihat embun di jendela—meracau, memberi bias pada dinding berkat pantulan remangnya lampu kamar, samar-samar teringat pada pelangi sore tadi saat dipikirkannya sebuah pemandian.
Sontak nalarnya seperti tersengat petir yang menyambar, nama yang setiap hari diujar takkan pernah bisa disandingkan dengan mereka yang datang di palsunya perjamuan. Khayal-khayal yang dipikirkan hanya ke-liaran dari hausnya kehangatan, serta keegoisan dan sifat alami perihal ketidakpuasan; menjadi polemik jalan buntu yang takkan ber-ke-s u d a h a n.
Jakarta, 3 Mei 2021
Interpretasiku tentang Sebuah harap yang belum sampai seraya mengujar namanya cukup menggambarkan perasaan saya yang sedang bingung karna blm dapat kepastian. Good narasi 🙌👏
ReplyDelete🙏
Delete