Skip to main content

Antara Logika Dan Imajinasi

Jika bisa ditapakinya pemandian air panas musim hujan, tanpa atap pembatas dari bias temaram redupnya langit keemasan, mungkin; erat jemarinya dapat menggenggam setiap jengkal irama nadi pemilik nama yang diujarnya setiap hari, secara bersamaan dengan mereka yang mendekati jamuan palsu musim semi, kala bunga-bunga gugur hanya imajinasi dari pelangi-pelangi yang kehilangan intuisi.

Tapi dingin kerap kali menyerang, tepat di bawah kaki meradang haus sebab dicarinya sebuah kehangatan. Dibakarnya kayu-kayu kering berlatar air, disulutnya api dari lembab dengan harapan-harapan getir. Asap membumbung tinggi, seirama dengan kelinci yang terbang berkat kepakan tempurung kura-kura. Tak ada asap, tak ada api, kayu-kayu kering tenggelam, seraya buyar lamunan sesaat masuk di alam bawah sadar.

Diajaknya bicara matahari saat malam menunjuk pukul dua dini hari, ilusi-ilusi itu layaknya sunyi dan sepi yang memiliki ikatan meski tak terlahir dari rahim ibu suri. Sempurna dengan gelabah yang tertanam di setiap inti doa, membawanya pada akhir yang bahkan tak pernah diawalinya. Burung-burung masih enggan berkicau, tapi ia melihat embun di jendela—meracau, memberi bias pada dinding berkat pantulan remangnya lampu kamar, samar-samar teringat pada pelangi sore tadi saat dipikirkannya sebuah pemandian.

Sontak nalarnya seperti tersengat petir yang menyambar, nama yang setiap hari diujar takkan pernah bisa disandingkan dengan mereka yang datang di palsunya perjamuan. Khayal-khayal yang dipikirkan hanya ke-liaran dari hausnya kehangatan, serta keegoisan dan sifat alami perihal ketidakpuasan; menjadi polemik jalan buntu yang takkan ber-ke-s u d a h a n.


Jakarta, 3 Mei 2021

Comments

  1. Interpretasiku tentang Sebuah harap yang belum sampai seraya mengujar namanya cukup menggambarkan perasaan saya yang sedang bingung karna blm dapat kepastian. Good narasi 🙌👏

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Nama Tengah

Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa. Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu. Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu. Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi