Desember kala itu mulai sedikit kabur, Kasih. Hampir seperti lukisan yang sureal malah. Kau dan aku. Kita menjadi sepasang dara muda yang beranamorfosis, menumbuhkan sepasang sayap baru. Melarikan diri dari terungku sarang-sarang yang muram. Kita begitu naif, aku tahu. Tanpa banyak cendala. Tanpa banyak mendung di bumantara. Tanpa memunculkan angan dalam pusara. Kereta itu menerjang masa lalu yang bergelimang nestapa. Kita menuju, menuju, dengan apa kau menyebutnya? Benar. Sesuatu yang lebih paripurna. Sesuatu yang lebih bergelora.
Dari jendela-jendela yang malang itu senja menyusup merambati wajahmu. Meski begitu, dalam pandangku baskara di planet ini telah kalah tanding. Kalah tanding dengan cendayam wujudmu yang lebih amerta dibanding panorama nan fana itu. Maksudku, senja itu jingga, sedang dirimu adalah jatarupa. Maka tidak sudi bila harus kutulis sesuatu yang memuja dan meninggikan derajat senja, sedang di mayapada ini telah dilahirkan sesosok dirimu yang lebih mulia. Untuk urusan yang satu itu, puisiku tak butuh demokrasi.
Desember kala itu, Kasih. Desember yang dipenuhi romantika liar. Kau tidak percaya ketika kukatakan bahwa sebuah warna yang elusif telah berbinar di sepasang matamu—rosemari dan timi. Seperti sihir, jelasku. Kau justru bingung dan salah tingkah, mengatakan bahwa aku terlalu banyak mendengarkan Lana Del Rey. Sedang aku sangat percaya ketika kau katakan bahwa suatu hari di suatu negeri di balik pelangi, kau menemukan kita tumbuh dalam firdaus. Cukup puitis, namun aku tahu sekali kau mengutipnya dari seorang Judy Garland.
Hari apa itu? Aku tak terlalu ingat. Sebab memang seharusnya tak perlu kuingat sama sekali. Kita tahu, cinta adalah musim yang buas. Musim yang ganas. Pancaroba. Distopia. Malapetaka. Sedang jantung kita terlalu rentan dan mudah pupus, layu, gugur. Kita bahkan tak mampu menggapai Januari. Kita menjadi terlalu biru dan tak pernah lagi kembali. Kita berubah. Berubah dan barangkali itu adalah suatu sifat natural yang manusiawi.
Desember tiba lagi. Satu lagi purnama tiba dan kirananya bukan dari namamu, melainkan dari sepotong roh lunar yang pucat pasi. Sudah lama sekali. Sudah lama sekali puisiku tak terpelihara dan seketika saja dirimu kembali dalam bentuk serpihan memorabilia dan menyihirnya menjadi semegah paradiso. Setidaknya malam ini, sekali lagi ingin kusihir dirimu dan kenangan kita menjadi sebongkah keindahan aksara.
Aku meminta sedikit restu darimu, boleh? Sebab aku hanya rindu. Sebab aku masih mencintaimu dan akan selalu mencintaimu.
Jakarta, 01 Desember 2021
Comments
Post a Comment