Skip to main content

Senandika



Aku ingat saat-saat kau menggenggam tanganku erat. Mengucapkan beberapa kalimat yang tentu saja membuatku amat terpikat. Akhirnya kita memilih untuk berserikat. Menjalin hubungan–yang tak pernah terpikir akan tersekat begitu cepat.

Hari-hari terus berjalan dengan pancarona menghiasi awan renjana. Tak pernah sekalipun juga hujan berhasil menjalankan misi untuk menghapus semua pusat bahagia.

Semuanya sirna dengan sempurna, tatkala tiba-tiba kau mengajakku bersua. Beberapa jam tergulir dengan normalnya, hingga detik kesekian; jantungku sudah siap meloncat dari tempatnya.

Aku tertipu dengan normal dalam prasangka. Kupikir, senyummu masih sama. Bahagiamu masih aku salah satunya. Ternyata tidak begitu fakta yang ada. Dengan secepat kilat, kau berkata, "iya, memang sedang dekat dengannya", "walaupun belum kuberi semuanya".
Semua itu terbantah dengan kata-kata yang dulu pernah menjadi saling kita, dengan semua kata yang terlanjur ku percaya.
dengan semua kekesalanmu atas sikapnya setelahnya.
Ya, kau telah menaruh hati.

Sepersekian detik setelah jantung berhenti berdetak. Air mata tumpah ruah membasahi dua pipi yang dulunya senang sekali kau singgahi. Tanganmu tidak bergerak mengusap sumber luka di pelupuk mata kali ini. Kau hanya diam–enggan menjelaskan mengapa harus aku yang ditinggalkan.

Selepas memberi duka, kau pergi begitu saja meninggalkan hati yang sudah porak poranda. Sayatan terus tergurat dimana-mana; membuatku tak ada waktu untuk tetap berdiri kuat. 

Bodohnya, setelah kau tinggalkan aku dengan kenyataan itu. Mataku terbuka lebar untuk melihat dengan benar nama itu. Berharap itu aku, namun tidak begitu.

Berat hati kuterima duka ini,
Karena pada akhirnya ketika hati tak mampu berkata, maka yang tersisa hanya mata yang berkaca.



Jakarta, 01 November 2021

Comments

Popular posts from this blog

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Nama Tengah

Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa. Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu. Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu. Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi