Skip to main content

Tanda Tanya



Dari sekian 1 / 365 yang akan datang
barangkali kebiasaan kebiasaan kita
adalah menanyakan seberapa besar rasa
seberapa dalam sebuah usaha sampai di hatimu itu. 
jika semua pertanyaan itu sudah kau tahu
Mengapa harus aku cari lebih luas tentang siapa aku dalam milikmu?

Bukankah memang kita mengawali penantian dengan saling mendamaikan luka?
lalu berharap satu persatu diri kita utuh untuk bisa kembali dicintai dan mencintai.

Mengapa?
Mengapa ada yang tidak bisa kau maknai bahwa rasa cukup itu ada untuk hati yang penuh. Untuk sebuah kepercayaan yang sungguh. 

Ketika aku tak pernah bisa benar benar menjangkau matamu sekali lagi
aku tahu aku sudah tenggelam lebih dulu dari apa yang aku lihat setiap pagi
Ketika aku tak benar benar mampu mengisi harimu untuk kesekian kali
aku tahu aku sudah tidak kau raih tangannya 
untuk berkelana kemanapun kau minta.

Sudahkah yang kau tunggu sampai?
hanya karena aku terlalu bertahan untuk hatimu
justru membuatmu berpaling?
Berapa kali kau harus mengatakan berhenti?
berhenti untuk mencari dan tetap denganmu.
berhenti untuk tidak memperparah sesakku.

Karena ada yang tak pernah selesai dalam diriku 
ada yang terus berlanjut untuk menguatkan hatiku
untuk mencintaimu
untuk menjawab semua pertanyaan tentang siapa aku
yang kau miliki namun seperti tak pernah ada untuk kau cintai. 

Comments

Popular posts from this blog

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Nama Tengah

Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa. Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu. Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu. Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi