Skip to main content

Petrichor



Kau boleh melanglang buana kemanapun kau suka; kepada seseorang yang dulu pernah membuatmu sesakit itu atau kepada ia yang bisa membujukmu untuk memalingkan pilihan kepadanya.

Beberapa waktu lalu, aku mengenangmu pada sebuah malam. Berteman remang lampu kamar dan secangkir teh hangat yang kubuat. Kau seolah-olah datang meyakinkan diri bahwa aku memang sangat merindukanmu—memori di kepala memutar otomatis ketika kita bisa duduk berdua di satu meja; bercerita tentang "Kiblat Peradaban" yang di dalamnya ada seorang lelaki yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada perempuannya di malam hari yang penuh hujan; dan, kembali menyurat hujan di hari-hari yang selalu mendung—itu adalah aku.

Begini, dulu aku adalah seseorang yang selalu tahu bahwa kau tidak suka usus, misalnya. Atau seseorang yang berbahagia melihat tawamu pada hal yang sebenarnya biasa saja. Tapi sejujurnya, bahagiamu yang sederhana itu selalu mampu membahagiakanku juga.

Dulu, aku adalah seseorang yang selalu menunggu balasan pesanmu. Meski aku tahu kadang kau sibuk dengan urusanmu. Pun sebagai seseorang yang mendengarkan keluhanmu soal rambut pendek sehabis kau potong. Bagiku dirimu tetap seseorang yang sama seperti saat pertama kali aku menemukanmu—tidak berubah.

Sekarang, aku tetap menjadi seseorang dengan kesediaannya untuk hal-hal itu. Pun jika kau datang untuk menceritakan rasa sakitmu yang disebabkan orang baru itu, aku bersedia. Karena aku adalah telinga yang pernah sengaja kau tulikan.

Atau, kau datang hanya untuk merebahkan diri dari lelahnya pencarian, aku bersedia. Bahkan jika kau hanya datang untuk menjenguk keadaanku saat ini, tak apa. Karena aku tetaplah rumah meskipun kau tak ingin hidup di dalamnya.

Sekiranya kau masih mau untuk pulang, maka di sana akan selalu ada pintu yang terbuka lebar tanpa harus kau mendobraknya. Pun jika kau tak mau lagi untuk pulang, maka di sana tetap ada rumah yang berdiri kokoh sekalipun sengaja kau tiadakan arah jalan pulangnya.

Datanglah. Ingin atau tanpa ingin. Rindu atau tanpa rindu. Karena aku ada memang untuk membuatmu mengerti bahwa di belakangmu selalu ada seseorang yang memperhatikanmu meski senantiasa kau punggungi.



Jakarta, 19 Desember 2021

Comments

Popular posts from this blog

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Nama Tengah

Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa. Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu. Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu. Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi