Skip to main content

Trilogi



/ Biru — Aku /

Tuhan menciptakan aku lewat deru air mata. Bisa dibilang aku lahir di kala Ia sedang menangis dengan hebat. Aku juga adalah aliran sungai yang mengalir pada kering pipimu. Merindukan samudra dengan teramat-berat hingga menyesak relung di dada. Netraku selalu basah, lupa tentang bagaimana rasanya menjadi tenang dan dicinta. Samudraku selalu diterjang badai tanpa hentiーribuan tragedi mengisi jiwaku sedari kecil.

Katanya, aku ini adalah pilu yang paling membiru. Semua puisiku hanya mengundang tangis tiada jeda, hujan pun dibuatnya menjadi tidak pernah reda.

Katanya aku ini adalah mesin pembuat memori. Padahal nyatanya, semuanya kukenang abadi dalam sepi dan sunyi.

Katanya aku ini adalah hujan di dalam mimpi. Jikalau demikian, lantas mengapa kau membuat air mata ini menderai di kala kau pergi.

/ Merah — Kamu /

Aku menelan amarah, memupuk bara api, memeluk darah, dan segalanya tentangku adalah sesuatu yang membuatmu memohon patah. Hadirku adalah sesuatu yang membawa segalanya menuju musnah. Jangan taruh bunga itu di wadahーkau jatuh padaku.

Aku benci dengan dunia,

Jangan cintai aku, jikalau jiwaku adalah satu yang paling membuatmu tidak bisa lupa. Karenanya aku rapuh, jatuhku selalu berujung pada palung paling dalam. Jatuhku selalu kembali pada tempat yang menjadi semuanya bermula. Jatuhku terlalu berdarah, aku adalah merah yang tidak pernah bisa melepas cinta yang telah merekah.

/ Ungu — Kita /

Kita adalah padu-padanan dua warna biasa yang tanpa sengaja menjadi sebuah adiwarna. Jutaan kanvas kita lukis dengan bergandengan tangan secara erat. Jutaan mimpi kita rajut dengan janji, bahwa tiada firasat akan ada saat kita tamat selain liang lahad yang memisah. Untaian kata dan suara menjadi satu lagu perihal kita yang lengkap saat merangkap semuanya bersama-sama.

Segalanya perihal ungu adalah tentang kita. Bunga anggrek yang kau berikan pada sudut ruangan, kumpulan puisi dengan ratusan makna sukacita, berkelana dengan senyap pada malam yang mulai lenyap, hingga perihal kota yang habis dimakan langit berwarna jingga. Aku masih ingat semuanya, terputar seperti kaset rusak yang tiada hentinya, terpatri seperti patung bersejarah pada sebuah museum hati.

Perihal kita, aku sangat jatuh cinta. Jikalau kujabarkan dengan kata-kata, mungkin seperti ini jadinya;

Ada sesuatu yang tidak bisa kuhindari selayaknya desiran ombak dengan bibir pantai, yaitu kita. 

Ada sesuatu yang tidak bisa kuhindari selayaknya rintikan hujan yang jatuh berpelukan pada bumi, yaitu kita. 

Ada sesuatu yang tidak bisa kita hindari selayaknya biru dan merah, yaitu unguーkita.


Jakarta, 01 Desember 2022

Comments

Popular posts from this blog

5%

Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan.   Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen.   Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...

Dua Awan di Langit yang Sama

Kita bagai dua awan yang mengembara,   terikat oleh angin yang sama,   namun selalu terhalang cakrawala   yang memisahkan rindu dari nyata.   Kau adalah senja yang kusimpan dalam doa,   warna jingga yang mengalun pelan,   sedang aku hanyalah fajar   yang selalu datang terlalu pagi—   terlalu cepat untuk menyapamu,   terlambat untuk menahanmu pergi.   Di antara kita, ada musim yang bersekongkol:   hujan menjadikan kita asing,   matahari menjadikan kita bayang-bayang,   dan malam—   ah, malam hanya diam   memungut sisa-sisa percakapan   yang tak sempat terucap.   Pernahkah kau dengar   bisik dedaunan saat rintik mulai turun?   Itulah suara kerinduanku:   senyap, basah,   terbawa arus selokan yang tak punya muara,   mengalir ke laut yang tak tahu   bet...