/ Biru — Aku /
Tuhan menciptakan aku lewat deru air mata. Bisa dibilang aku lahir di kala Ia sedang menangis dengan hebat. Aku juga adalah aliran sungai yang mengalir pada kering pipimu. Merindukan samudra dengan teramat-berat hingga menyesak relung di dada. Netraku selalu basah, lupa tentang bagaimana rasanya menjadi tenang dan dicinta. Samudraku selalu diterjang badai tanpa hentiーribuan tragedi mengisi jiwaku sedari kecil.
Katanya, aku ini adalah pilu yang paling membiru. Semua puisiku hanya mengundang tangis tiada jeda, hujan pun dibuatnya menjadi tidak pernah reda.
Katanya aku ini adalah mesin pembuat memori. Padahal nyatanya, semuanya kukenang abadi dalam sepi dan sunyi.
Katanya aku ini adalah hujan di dalam mimpi. Jikalau demikian, lantas mengapa kau membuat air mata ini menderai di kala kau pergi.
/ Merah — Kamu /
Aku menelan amarah, memupuk bara api, memeluk darah, dan segalanya tentangku adalah sesuatu yang membuatmu memohon patah. Hadirku adalah sesuatu yang membawa segalanya menuju musnah. Jangan taruh bunga itu di wadahーkau jatuh padaku.
Aku benci dengan dunia,
Jangan cintai aku, jikalau jiwaku adalah satu yang paling membuatmu tidak bisa lupa. Karenanya aku rapuh, jatuhku selalu berujung pada palung paling dalam. Jatuhku selalu kembali pada tempat yang menjadi semuanya bermula. Jatuhku terlalu berdarah, aku adalah merah yang tidak pernah bisa melepas cinta yang telah merekah.
/ Ungu — Kita /
Kita adalah padu-padanan dua warna biasa yang tanpa sengaja menjadi sebuah adiwarna. Jutaan kanvas kita lukis dengan bergandengan tangan secara erat. Jutaan mimpi kita rajut dengan janji, bahwa tiada firasat akan ada saat kita tamat selain liang lahad yang memisah. Untaian kata dan suara menjadi satu lagu perihal kita yang lengkap saat merangkap semuanya bersama-sama.
Segalanya perihal ungu adalah tentang kita. Bunga anggrek yang kau berikan pada sudut ruangan, kumpulan puisi dengan ratusan makna sukacita, berkelana dengan senyap pada malam yang mulai lenyap, hingga perihal kota yang habis dimakan langit berwarna jingga. Aku masih ingat semuanya, terputar seperti kaset rusak yang tiada hentinya, terpatri seperti patung bersejarah pada sebuah museum hati.
Perihal kita, aku sangat jatuh cinta. Jikalau kujabarkan dengan kata-kata, mungkin seperti ini jadinya;
Ada sesuatu yang tidak bisa kuhindari selayaknya desiran ombak dengan bibir pantai, yaitu kita.
Ada sesuatu yang tidak bisa kuhindari selayaknya rintikan hujan yang jatuh berpelukan pada bumi, yaitu kita.
Ada sesuatu yang tidak bisa kita hindari selayaknya biru dan merah, yaitu unguーkita.
Jakarta, 01 Desember 2022
Comments
Post a Comment