Skip to main content

Greatest of All Time




Lukislah aku dengan warna biru sehingga seluruh pilumu itu segera luruh. Nantinya, tidak perlu ada lagi rahasia pada bulan yang kautitip seorang diri. Berlarilah, temui aku di sebuah taman pada jam dua belas malam bersama dengan kunang-kunang dan aku akan memeluk kerangka tubuhmu dengan batas kain dari sweterku. Kemudian kau boleh menangis di bahuku, menjatuhkan seluruh asterik-asterik yang ada pada bola matamu. Jadilah komet yang menabrak bentala dengan sengajaーkau tidak lari lagi dari luka di tubuhmuーuntuk semalam saja.

Kau berhak untuk bebas dan menjadi apa yang kau mau. Kemudian aku di sini rela menjadi sebuah kanvas yang kaulukis, kaurobek, kaubakar, atau kauhujam dengan seribu tetes air netra. Hingga nanti wujudku tidak karuan, maka menjadi seni buatanmu adalah sebuah privilage pada garis tanganku. Aku rela, sungguh, untuk menjadi tempatmu mengadu keluh, menulis darah, atau berteriak untuk segera dibunuh.

Namun sayang bukan engkau yang akan mati menuju mair nanti, tetapi diriku. Hingga seluruh kepingan diriku berhasil menjadi plester tubuhmu, sweterku habis dirobek untuk mengusap darahmu, dan serpihan dari diriku hilang dicuri, maka hiduplah engkau dalam damai. Sampai saat itu tiba, tunggulah aku untuk terlahir kembali.

Dari huruf-huruf yang ada pada sajak ini, dari memori peluk-memeluk yang tidak kenal seluk-beluk kasih itu sendiri, dari rumput-rumput pinggiran kota yang dicumbu oleh langit berwarna jingga, dari lampu jalanan yang sedang berduka di kala listrik tengah padam, dari surat-surat dengan makna tersirat yang berakhir pada jilatan lidah api, dan dari setiap kata 'pergi' yang kaulihat pada hujan di dalam mimpi.


Jakarta, 19 Desember 2022

Comments

Popular posts from this blog

5%

Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan.   Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen.   Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...

Dua Awan di Langit yang Sama

Kita bagai dua awan yang mengembara,   terikat oleh angin yang sama,   namun selalu terhalang cakrawala   yang memisahkan rindu dari nyata.   Kau adalah senja yang kusimpan dalam doa,   warna jingga yang mengalun pelan,   sedang aku hanyalah fajar   yang selalu datang terlalu pagi—   terlalu cepat untuk menyapamu,   terlambat untuk menahanmu pergi.   Di antara kita, ada musim yang bersekongkol:   hujan menjadikan kita asing,   matahari menjadikan kita bayang-bayang,   dan malam—   ah, malam hanya diam   memungut sisa-sisa percakapan   yang tak sempat terucap.   Pernahkah kau dengar   bisik dedaunan saat rintik mulai turun?   Itulah suara kerinduanku:   senyap, basah,   terbawa arus selokan yang tak punya muara,   mengalir ke laut yang tak tahu   bet...