Lukislah aku dengan warna biru sehingga seluruh pilumu itu segera luruh. Nantinya, tidak perlu ada lagi rahasia pada bulan yang kautitip seorang diri. Berlarilah, temui aku di sebuah taman pada jam dua belas malam bersama dengan kunang-kunang dan aku akan memeluk kerangka tubuhmu dengan batas kain dari sweterku. Kemudian kau boleh menangis di bahuku, menjatuhkan seluruh asterik-asterik yang ada pada bola matamu. Jadilah komet yang menabrak bentala dengan sengajaーkau tidak lari lagi dari luka di tubuhmuーuntuk semalam saja.
Kau berhak untuk bebas dan menjadi apa yang kau mau. Kemudian aku di sini rela menjadi sebuah kanvas yang kaulukis, kaurobek, kaubakar, atau kauhujam dengan seribu tetes air netra. Hingga nanti wujudku tidak karuan, maka menjadi seni buatanmu adalah sebuah privilage pada garis tanganku. Aku rela, sungguh, untuk menjadi tempatmu mengadu keluh, menulis darah, atau berteriak untuk segera dibunuh.
Namun sayang bukan engkau yang akan mati menuju mair nanti, tetapi diriku. Hingga seluruh kepingan diriku berhasil menjadi plester tubuhmu, sweterku habis dirobek untuk mengusap darahmu, dan serpihan dari diriku hilang dicuri, maka hiduplah engkau dalam damai. Sampai saat itu tiba, tunggulah aku untuk terlahir kembali.
Dari huruf-huruf yang ada pada sajak ini, dari memori peluk-memeluk yang tidak kenal seluk-beluk kasih itu sendiri, dari rumput-rumput pinggiran kota yang dicumbu oleh langit berwarna jingga, dari lampu jalanan yang sedang berduka di kala listrik tengah padam, dari surat-surat dengan makna tersirat yang berakhir pada jilatan lidah api, dan dari setiap kata 'pergi' yang kaulihat pada hujan di dalam mimpi.
Jakarta, 19 Desember 2022
Comments
Post a Comment