Sore ini kayu tergeletak di beranda, menatap langit yang beranjak dari biru ke jingga. Ada sesuatu yang berat—sesuatu yang ingin keluar namun tak tahu pintunya. Kehampaan, mungkin namanya. Kayu tak tahu bagaimana menyampaikan pada api. Kata-kata itu terlalu besar untuk diucapkan, terlalu rapuh untuk dikirim. Sudah berapa malam kayu terjaga, membayangkan jemari api menyentuh kulitnya. Yang ingin ditanyakan adalah: apakah api juga merasakan dinginnya malam tanpa kayu di sana? Kayu ingat kehangatan api yang terakhir—kehangatan yang diberikan begitu saja, menciptakan bayangan yang perlahan menghilang. Bagi kayu, kehangatan itu seperti rumah yang ditinggalkan. Malam ini angin bertiup pelan. Awan bergerak perlahan, menyusuri langit yang biasa dilalui bersama hujan. Di setiap sudut ada jejak hujan—di sungai, di laut, di danau tempat mereka diam berjam-jam tanpa perlu kata. Benih tahu ia membutuhkan tanah. Tapi kebutuhan itu tak mampu menampung semuanya—perasaan sesak ketika mataha...
Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan. Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen. Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...