Sore ini kayu tergeletak di beranda, menatap langit yang beranjak dari biru ke jingga. Ada sesuatu yang berat—sesuatu yang ingin keluar namun tak tahu pintunya.
Kehampaan, mungkin namanya.
Kayu tak tahu bagaimana menyampaikan pada api. Kata-kata itu terlalu besar untuk diucapkan, terlalu rapuh untuk dikirim.
Sudah berapa malam kayu terjaga, membayangkan jemari api menyentuh kulitnya. Yang ingin ditanyakan adalah: apakah api juga merasakan dinginnya malam tanpa kayu di sana?
Kayu ingat kehangatan api yang terakhir—kehangatan yang diberikan begitu saja, menciptakan bayangan yang perlahan menghilang. Bagi kayu, kehangatan itu seperti rumah yang ditinggalkan.
Malam ini angin bertiup pelan. Awan bergerak perlahan, menyusuri langit yang biasa dilalui bersama hujan. Di setiap sudut ada jejak hujan—di sungai, di laut, di danau tempat mereka diam berjam-jam tanpa perlu kata.
Benih tahu ia membutuhkan tanah. Tapi kebutuhan itu tak mampu menampung semuanya—perasaan sesak ketika matahari terbit dan tanah tak memeluknya, keinginan sederhana untuk merasakan kehangatan tanah.
Mungkin bunga hanya perlu waktu untuk mengatakan pada lebah bahwa tanpa kehadirannya, bunga hanya sekadar warna tanpa makna. Ketergantungan ini bukan permintaan—ia hanya kenyataan kecil yang dibawa setiap hari, seperti nektar yang selalu menunggu.
Kadang lilin bertanya: apakah perlu mengatakan pada sumbu betapa ia memerlukan? Mungkin ada keindahan dalam kehampaan yang tak terucap, seperti cahaya yang belum dinyalakan.
Tapi keindahan itu juga menyakitkan.
Karena kayu tahu, suatu hari nanti, jika tak pernah bertemu api, kekosongan ini akan membengkak hingga tak muat lagi. Dan saat itu tiba, mungkin sudah terlambat.
Malam semakin larut. Awan masih di sini, menanti hujan yang tak kunjung turun.
Mungkin besok.
Mungkin besok arang akan menemukan keberanian untuk bercerita pada abu—tentang masa ketika ia masih kayu, tentang saat pertama bertemu api. Mungkin besok kata-kata akan datang dengan sendirinya, mengalir seperti sungai ke laut, tanpa ragu, tanpa takut. Mungkin besok benih akan berbisik pada tanah—dengan cara yang sederhana, jujur, dan apa adanya.
Atau mungkin tidak.
Mungkin awan akan tetap di sini, membawa kekosongan ini dalam diam, membiarkannya menjadi bagian dari langit, seperti napas yang tak terasa namun selalu ada. Dan mungkin, itu sudah cukup. Mungkin kerinduan yang tak terucap punya caranya sendiri untuk sampai—lewat angin yang membawa awan, lewat hujan yang membasahi bumi, lewat tatapan langit yang tak sengaja bertemu horizon.
Entahlah.
Yang pasti, malam ini, kayu menunggu api. Awan mencari hujan. Benih memerlukan tanah. Bunga mengharap lebah. Lilin membutuhkan sumbu. Dan entah bagaimana, mereka semua berharap yang ditunggu itu tahu.
Tanpa harus mengatakannya.
Karena sejatinya, kayu dan api selalu tahu cara menemukan satu sama lain. Seperti awan yang pasti menjadi hujan. Seperti benih yang tak pernah salah mencari tanah. Seperti kehampaan yang selalu menemukan pengisi—diam-diam, tanpa kata, dalam bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti.
Hanya saja, kadang jarak membuat kita lupa: bahwa menunggu adalah bentuk lain dari berkata. Bahwa diam adalah cara lain dari memanggil. Bahwa kekosongan adalah ruang yang disiapkan untuk kehadiran seseorang.
Dan malam ini, kayu masih di sini. Menunggu. Dalam diamnya yang panjang.
Jakarta, 01 Desember 2025
Comments
Post a Comment