Skip to main content

Fool


Ia datang seperti kabut pagi,
Mengendap dalam relung jiwa yang sunyi.
Sosoknya bagai sulaman awan di cakrawala,
Menari-nari dalam sudut mata yang lelah.

Kureguk namanya bagai anggur merah,
Memabukkan benak, membutakan arah.
Kuukir wajahnya di kanvas imajinasi,
Lukisan indah penuh delusi.

Kubisikkan rahasia ke telinga angin,
Berharap sampai pada gendang telinganya.
Namun kata-kata itu terhempas ke dasar jurang,
Tak pernah sampai, seperti surat dalam botol.

Kurajut kasih dari benang-benang harapan,
Merangkai mimpi di batas nyata dan khayalan.
Menciptakan simfoni dari keheningan,
Mendengar melodi yang tak pernah ada.

Kubangun istana megah di atas pasir,
Dengan menara setinggi angan-angan.
Perlahan ombak waktu mengikisnya,
Menyisakan puing-puing kenangan.

Kulihat wajahnya terpantul di cermin waktu,
Namun ketika kusentuh, pecahlah kaca itu.
Melukai tanganku dengan serpihan kenyataan,
Bahwa ia tak lebih dari fatamorgana.

Seperti Pygmalion yang mencinta patungnya,
Kuciptakan dirimu dari batu imajinasi.
Namun nafasku tak sekuat dewa-dewa,
Untuk menghidupkan cinta yang tak bernyawa.

April datang dengan senyum jenaka,
Membawa kartu bertuliskan "Fool" di dahinya.
Seperti diriku yang terjebak dalam permainan,
Menjadi badut dalam sirkus delusi.

Seperti kuncup mawar yang akhirnya mekar,
Hatiku kini belajar menerima.
Bayang-bayangmu kulepas ke angkasa,
Bagai lampion yang terbang membawa doa.

Di tanah yang pernah kugaram dengan air mata,
Kini kutanam benih-benih harapan baru.
Bukan lagi untuk mengejar fatamorgana di padang pasir,
Tapi untuk menghijaukan kebun hatiku sendiri.

Selamat datang, wahai April yang membuatku terjatuh,
Terima kasih untuk pelajaran yang membuatku terbang.
Kini kureguk madu kesadaran dari bunga pengalaman,
Dan kurentangkan sayap kupu-kupu yang lahir dari kepompong delusi.


Jakarta, 01 April 2025

Comments

Popular posts from this blog

5%

Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan.   Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen.   Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...

Dua Awan di Langit yang Sama

Kita bagai dua awan yang mengembara,   terikat oleh angin yang sama,   namun selalu terhalang cakrawala   yang memisahkan rindu dari nyata.   Kau adalah senja yang kusimpan dalam doa,   warna jingga yang mengalun pelan,   sedang aku hanyalah fajar   yang selalu datang terlalu pagi—   terlalu cepat untuk menyapamu,   terlambat untuk menahanmu pergi.   Di antara kita, ada musim yang bersekongkol:   hujan menjadikan kita asing,   matahari menjadikan kita bayang-bayang,   dan malam—   ah, malam hanya diam   memungut sisa-sisa percakapan   yang tak sempat terucap.   Pernahkah kau dengar   bisik dedaunan saat rintik mulai turun?   Itulah suara kerinduanku:   senyap, basah,   terbawa arus selokan yang tak punya muara,   mengalir ke laut yang tak tahu   bet...