Sore ini kayu tergeletak di beranda, menatap langit yang beranjak dari biru ke jingga. Ada sesuatu yang berat—sesuatu yang ingin keluar namun tak tahu pintunya. Kehampaan, mungkin namanya. Kayu tak tahu bagaimana menyampaikan pada api. Kata-kata itu terlalu besar untuk diucapkan, terlalu rapuh untuk dikirim. Sudah berapa malam kayu terjaga, membayangkan jemari api menyentuh kulitnya. Yang ingin ditanyakan adalah: apakah api juga merasakan dinginnya malam tanpa kayu di sana? Kayu ingat kehangatan api yang terakhir—kehangatan yang diberikan begitu saja, menciptakan bayangan yang perlahan menghilang. Bagi kayu, kehangatan itu seperti rumah yang ditinggalkan. Malam ini angin bertiup pelan. Awan bergerak perlahan, menyusuri langit yang biasa dilalui bersama hujan. Di setiap sudut ada jejak hujan—di sungai, di laut, di danau tempat mereka diam berjam-jam tanpa perlu kata. Benih tahu ia membutuhkan tanah. Tapi kebutuhan itu tak mampu menampung semuanya—perasaan sesak ketika mataha...