Skip to main content

Posts

Showing posts from 2025

Kayu dan Api

Sore ini kayu tergeletak di beranda, menatap langit yang beranjak dari biru ke jingga. Ada sesuatu yang berat—sesuatu yang ingin keluar namun tak tahu pintunya. Kehampaan, mungkin namanya. Kayu tak tahu bagaimana menyampaikan pada api. Kata-kata itu terlalu besar untuk diucapkan, terlalu rapuh untuk dikirim. Sudah berapa malam kayu terjaga, membayangkan jemari api menyentuh kulitnya. Yang ingin ditanyakan adalah: apakah api juga merasakan dinginnya malam tanpa kayu di sana? Kayu ingat kehangatan api yang terakhir—kehangatan yang diberikan begitu saja, menciptakan bayangan yang perlahan menghilang. Bagi kayu, kehangatan itu seperti rumah yang ditinggalkan. Malam ini angin bertiup pelan. Awan bergerak perlahan, menyusuri langit yang biasa dilalui bersama hujan. Di setiap sudut ada jejak hujan—di sungai, di laut, di danau tempat mereka diam berjam-jam tanpa perlu kata. Benih tahu ia membutuhkan tanah. Tapi kebutuhan itu tak mampu menampung semuanya—perasaan sesak ketika mataha...

5%

Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan.   Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen.   Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...

Dua Awan di Langit yang Sama

Kita bagai dua awan yang mengembara,   terikat oleh angin yang sama,   namun selalu terhalang cakrawala   yang memisahkan rindu dari nyata.   Kau adalah senja yang kusimpan dalam doa,   warna jingga yang mengalun pelan,   sedang aku hanyalah fajar   yang selalu datang terlalu pagi—   terlalu cepat untuk menyapamu,   terlambat untuk menahanmu pergi.   Di antara kita, ada musim yang bersekongkol:   hujan menjadikan kita asing,   matahari menjadikan kita bayang-bayang,   dan malam—   ah, malam hanya diam   memungut sisa-sisa percakapan   yang tak sempat terucap.   Pernahkah kau dengar   bisik dedaunan saat rintik mulai turun?   Itulah suara kerinduanku:   senyap, basah,   terbawa arus selokan yang tak punya muara,   mengalir ke laut yang tak tahu   bet...

Fool

Ia datang seperti kabut pagi, Mengendap dalam relung jiwa yang sunyi. Sosoknya bagai sulaman awan di cakrawala, Menari-nari dalam sudut mata yang lelah. Kureguk namanya bagai anggur merah, Memabukkan benak, membutakan arah. Kuukir wajahnya di kanvas imajinasi, Lukisan indah penuh delusi. Kubisikkan rahasia ke telinga angin, Berharap sampai pada gendang telinganya. Namun kata-kata itu terhempas ke dasar jurang, Tak pernah sampai, seperti surat dalam botol. Kurajut kasih dari benang-benang harapan, Merangkai mimpi di batas nyata dan khayalan. Menciptakan simfoni dari keheningan, Mendengar melodi yang tak pernah ada. Kubangun istana megah di atas pasir, Dengan menara setinggi angan-angan. Perlahan ombak waktu mengikisnya, Menyisakan puing-puing kenangan. Kulihat wajahnya terpantul di cermin waktu, Namun ketika kusentuh, pecahlah kaca itu. Melukai tanganku dengan serpihan kenyataan, Bahwa ia tak lebih dari fatamorgana. Seperti Pygmalion yang mencinta patungnya, Kuciptakan dirim...