Skip to main content

Sequence 3



Dalam malam yang sunyi setelah empat purnama, di bawah cahaya bintang yang tak berujung,
Sebuah kerinduan yang mendalam bergerak, mengalahkan cahaya bulan yang terang.
Gema dari sebuah harapan, diterbisikkan dalam terbangnya angin,
Ini adalah kerinduan untukmu, ksatria abadi hatiku.

Dalam kesendirian fajar, saat dunia tergerak oleh cahaya,
Kerinduan yang mendalam masih tinggal, diam dalam pandangan pagi.
Kenangan dari sentuhan, merintih di terangnya siang,
Ini adalah kerinduan akan kehadiranmu, kebahagiaan abadi jiwaku.

Dalam hiruk-pikuk hari, di bawah kekuatan matahari yang ganas,
Kerinduan yang mendalam tumbuh, tersembunyi dari pandangan biasa.
Jejak senyuman, hilang di waktu yang ketat,
Ini adalah kerinduan akan tawa mu, penerbangan abadi semangatku.

Dalam sinar lembut senja, saat hari kehilangan pertarungannya,
Kerinduan yang mendalam mekar, dalam malam yang akan datang.
Sebuah potongan janji, tak terucap namun terang,
Ini adalah keinginan akan cintamu, cahaya kekal dalam jiwaku.

Di bawah langit tengah malam, dengan alam semesta dalam pandangan,
Kerinduan yang mendalam menari, di bawah cahaya bintang.
Semilir harapan, bersinar begitu terang,
Ini adalah kerinduan akan kepulanganmu, penerbangan abadi cintaku.

Ketika fajar kembali lagi, memancarkan cahaya baru,
Kerinduan yang mendalam tetap, teguh dalam kekuatannya.
Sebuah visi kebersamaan, terbenam dalam cahaya pagi,
Ini adalah mimpi akan dekapmu, penghiburku dalam malam.

Dalam ketenangan senja, saat bayangan mengudara,
Kerinduan yang mendalam beresonansi, bergema di senja.
Melodi cinta, dimainkan di tali-tali hati begitu kencang,
Ini adalah simfoni untuk kasih sayangmu, penderitaan hatiku yang utama.

selagi salju masih ada, tersembunyi di kabut malam yang dingin--ranting tak berdaun

“Yang berat dari berduka tuh, hidup harus berjalan terus. Padahal kita lagi gak mau jalan.”



Jakarta, 01 Mei 2024

Comments

Popular posts from this blog

5%

Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan.   Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen.   Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...

Dua Awan di Langit yang Sama

Kita bagai dua awan yang mengembara,   terikat oleh angin yang sama,   namun selalu terhalang cakrawala   yang memisahkan rindu dari nyata.   Kau adalah senja yang kusimpan dalam doa,   warna jingga yang mengalun pelan,   sedang aku hanyalah fajar   yang selalu datang terlalu pagi—   terlalu cepat untuk menyapamu,   terlambat untuk menahanmu pergi.   Di antara kita, ada musim yang bersekongkol:   hujan menjadikan kita asing,   matahari menjadikan kita bayang-bayang,   dan malam—   ah, malam hanya diam   memungut sisa-sisa percakapan   yang tak sempat terucap.   Pernahkah kau dengar   bisik dedaunan saat rintik mulai turun?   Itulah suara kerinduanku:   senyap, basah,   terbawa arus selokan yang tak punya muara,   mengalir ke laut yang tak tahu   bet...