Skip to main content

Nama Tengah



Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa.

Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu.

Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu.

Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk hidup, mimpi dan cita-cita.

Mencintaimu mengajarkanku, bahwa mencintai tidak sesederhana latihan patah hati lalu sembuh dan lompat ke hati yang baru. Mencintaimu mengajarkanku untuk percaya bahwa Sang Maha Cinta yang berkuasa di atas sana tidak pernah henti terjaga, luput atau lupa. Bahwa mencintai-Nya dan memasrahkan segala cinta ke tangan-Nya adalah setenang-tenangnya jawaban dan tempat untuk pulang. Adalah haribaan dari setiap patah yang memohon untuk disembuhkan. Adalah pasti yang menjawab semua ragu dalam hati.

Pada akhirnya, setelah semua yang aku beri ; keringat, darah dan airmata serta segenap usaha mempertahankanmu yang kukira sia-sia akhirnya aku sadar begitu kecilnya aku di mata semesta. Tidak semua bisa kuprediksi hasilnya. Jadi di titik ini kulibatkan Sang Pencipta sembari memperbaiki diri dan mendewasa, aku yang terlalu percaya diri ini untuk pertama kali akan mengizinkan tangan Tuhan bekerja. Apapun kelak jawabannya, aku percaya bahwa tidak akan pernah ada kecewa dari berharap pada Sang Hyang Widhi Wasa.Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa.

Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu.

Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu.

Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk hidup, mimpi dan cita-cita.

Mencintaimu mengajarkanku, bahwa mencintai tidak sesederhana latihan patah hati lalu sembuh dan lompat ke hati yang baru. Mencintaimu mengajarkanku untuk percaya bahwa Sang Maha Cinta yang berkuasa di atas sana tidak pernah henti terjaga, luput atau lupa. Bahwa mencintai-Nya dan memasrahkan segala cinta ke tangan-Nya adalah setenang-tenangnya jawaban dan tempat untuk pulang. Adalah haribaan dari setiap patah yang memohon untuk disembuhkan. Adalah pasti yang menjawab semua ragu dalam hati.

Pada akhirnya, setelah semua yang aku beri ; keringat, darah dan airmata serta segenap usaha mempertahankanmu yang kukira sia-sia akhirnya aku sadar begitu kecilnya aku di mata semesta. Tidak semua bisa kuprediksi hasilnya. Jadi di titik ini kulibatkan Sang Pencipta sembari memperbaiki diri dan mendewasa, aku yang terlalu percaya diri ini untuk pertama kali akan mengizinkan tangan Tuhan bekerja. Apapun kelak jawabannya, aku percaya bahwa tidak akan pernah ada kecewa dari berharap pada Sang penguasa langit dan semesta.


Jakarta, 01 Mei 2023

Comments

Popular posts from this blog

5%

Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan.   Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen.   Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...

Dua Awan di Langit yang Sama

Kita bagai dua awan yang mengembara,   terikat oleh angin yang sama,   namun selalu terhalang cakrawala   yang memisahkan rindu dari nyata.   Kau adalah senja yang kusimpan dalam doa,   warna jingga yang mengalun pelan,   sedang aku hanyalah fajar   yang selalu datang terlalu pagi—   terlalu cepat untuk menyapamu,   terlambat untuk menahanmu pergi.   Di antara kita, ada musim yang bersekongkol:   hujan menjadikan kita asing,   matahari menjadikan kita bayang-bayang,   dan malam—   ah, malam hanya diam   memungut sisa-sisa percakapan   yang tak sempat terucap.   Pernahkah kau dengar   bisik dedaunan saat rintik mulai turun?   Itulah suara kerinduanku:   senyap, basah,   terbawa arus selokan yang tak punya muara,   mengalir ke laut yang tak tahu   bet...