Merupakan sebuah fenomena yang niskala.
Bagaimana sebuah nama anak manusia,
hanya dengan menyebutnya saja,
mampu membuat jantungmu begitu berdarah dan mendambakan sebuah sejarah usang untuk kembali
menjadi ada dan nyata.
Ketika mendung masih setia menjadi
atap rumah kita, musim kemarau telah
sampai di pelupuk mataku; merenggut
hujan.
Bayangmu tak lagi subur; daunmu
gugur; rantingmu patah, akarmu
enggan mengakar dan kau tumbang
—riang mengecup kepergian.
Selepas hujan di mataku menumpahkan
amarah paling jujur, kau paksa mendung
untuk lupa bagaimana caranya berkabung.
—dan aku gagal menjaga degupmu.
Kini, pada mata yang punggungnya retak
dicumbu kemarau, aku merawat nyala api
dari bayangmu yang mengering;
Mengusir dingin di pekatnya hening
yang enggan berpaling.
Dan, dalam realitasku fenomena itu melibatkan satu nama. Milikmu.
Jakarta, 01 Maret 2023
Comments
Post a Comment