ada kalanya, aku hanya ingin diam.
tanpa melakukan apapun, tanpa hujan pertanyaan.
Berdiskusi dengan isi hati— musuh terbesar logika.
Mengabaikan sikap dewasa dan membebaskan ego yang selalu memberontak karena tidak pernah diberi kesempatan untuk menunjukkan keberadaannya.
Menangisi semua hal yang telah terjadi.
Mengutuk segala yang telah memaksaku membangun jarak di antara aku dengan dunia, sembari menghukum mereka yang telah menghancurkan diriku dengan perbuatan dan kata-kata, lalu merebut sesuatu yang paling berharga dari beberapa orang, sebanyak mereka melakukannya dulu.
jika saja
misalnya aku bisa...
ingin aku menghentikan waktu dan memutarnya kembali ke belakang.
mencegah hari-hari buruk itu datang sehingga tidak perlu ada
meski aku tahu bahwa tidak akan pernah ada jawaban yang tepat dan benar dari perspektif manusia.
dan sangat sadar, bahwa tidak ada gunanya mengemban luka dan duka yang telah tertancap begitu lama.
walaupun begitu, meskipun begitu.
hati ini terus tenggelam lagi dan lagi.
jiwaku digerogoti perlahan-lahan
oleh rasa sakit dan pahitnya hari-hari yang menempel di balik punggung ini.
sambil berharap akan tiba saatnya, dimana rasa yang telah hancur ini dapat diterbangkan seperti abu yang tersapu angin pagi. atau melebur seperti es yang di dekap hangatnya mentari.
ah.. sepertinya mustahil
dalam keheningan kini aku datang melewati waktu.
memberanikan diriku di masa kini bertemu dengan aku yang hampir tak berwujud di masa lalu, dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
meyakinkan bahwa angin topan kemarin bukanlah tandinganmu di masa depan.
Lihatlah! aku membawa bukti yang paling nyata.
yaitu 'AKU' yang masih ada, aku yang masih berdiri tegap meski pusaran badai terhebat di dunia mengamuk memporak-porandakan dunia demi menghapus jejak juga keberadaan kita.
Jakarta, 31 Januari 2023
Comments
Post a Comment