Skip to main content

Jelaga


ada kalanya, aku hanya ingin diam.
tanpa melakukan apapun, tanpa hujan pertanyaan.
Berdiskusi dengan isi hati— musuh terbesar logika.
Mengabaikan sikap dewasa dan membebaskan ego yang selalu memberontak karena tidak pernah diberi kesempatan untuk menunjukkan keberadaannya. 

Menangisi semua hal yang telah terjadi. 
Mengutuk segala yang telah memaksaku membangun jarak di antara aku dengan dunia, sembari menghukum mereka yang telah menghancurkan diriku dengan perbuatan dan kata-kata, lalu merebut sesuatu yang paling berharga dari beberapa orang, sebanyak mereka melakukannya dulu.

jika saja
misalnya aku bisa...

ingin aku menghentikan waktu dan memutarnya kembali ke belakang. 
mencegah hari-hari buruk itu datang sehingga tidak perlu ada

meski aku tahu bahwa tidak akan pernah ada jawaban yang tepat dan benar dari perspektif manusia.
dan sangat sadar, bahwa tidak ada gunanya mengemban luka dan duka yang telah tertancap begitu lama.

walaupun begitu, meskipun begitu.
hati ini terus tenggelam lagi dan lagi.
jiwaku digerogoti perlahan-lahan 
oleh rasa sakit dan pahitnya hari-hari yang menempel di balik punggung ini.
sambil berharap akan tiba saatnya, dimana rasa yang telah hancur ini dapat diterbangkan seperti abu yang tersapu angin pagi. atau melebur seperti es yang di dekap hangatnya mentari. 

ah.. sepertinya mustahil

dalam keheningan kini aku datang melewati waktu.
memberanikan diriku di masa kini bertemu dengan aku yang hampir tak berwujud di masa lalu, dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

meyakinkan bahwa angin topan kemarin bukanlah tandinganmu di masa depan. 
Lihatlah! aku membawa bukti yang paling nyata. 
yaitu 'AKU' yang masih ada, aku yang masih berdiri tegap meski pusaran badai terhebat di dunia mengamuk memporak-porandakan dunia demi menghapus jejak juga keberadaan kita.


Jakarta, 31 Januari 2023

Comments

Popular posts from this blog

5%

Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan.   Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen.   Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...

Dua Awan di Langit yang Sama

Kita bagai dua awan yang mengembara,   terikat oleh angin yang sama,   namun selalu terhalang cakrawala   yang memisahkan rindu dari nyata.   Kau adalah senja yang kusimpan dalam doa,   warna jingga yang mengalun pelan,   sedang aku hanyalah fajar   yang selalu datang terlalu pagi—   terlalu cepat untuk menyapamu,   terlambat untuk menahanmu pergi.   Di antara kita, ada musim yang bersekongkol:   hujan menjadikan kita asing,   matahari menjadikan kita bayang-bayang,   dan malam—   ah, malam hanya diam   memungut sisa-sisa percakapan   yang tak sempat terucap.   Pernahkah kau dengar   bisik dedaunan saat rintik mulai turun?   Itulah suara kerinduanku:   senyap, basah,   terbawa arus selokan yang tak punya muara,   mengalir ke laut yang tak tahu   bet...