Malam mengetuk jendela sepi yang mendekap
tubuhnya sendiri, dibisikannya partitur hampa
pengiring elegi atas dua hulu sungai yang tengah
bermonolog dengan takdirnya.
Bibir ini masih terpasung kenyataan,
enggan bergumam mengutarakan gelisah atau mencari
lengan ibu untuk sekadar basa-basi
Maa, anakmu patah hati.
Namun, itu hanya bagian dari elegi.
Nada yang mengalun di antara bantal yang basah,
sebab dua hulu sungai telah kehilangan hilirnya.
Menyisakan renjana yang mulai lapuk, pun rasa kembali remuk.
Maa, anakmu patah hati.
Lantas sayup-sayup hujan turun.
Bukan hanya partitur hampa, kini gulita menampar lapuknya
renjana.
Menyajikan hidangan makan malam,
ialah duka yang dikemas kerisauan.
Maa, anakmu patah hati.
Pada lembar monokrom kala mata terpejam,
terlukis imaji dan tiap jengkal memoar yang
pernah diutarakan.
Menjadi penyempurna untuk renjana yang mulai lapuk, dan rasa yang benar-benar remuk.
Jakarta, 07 Oktober 2022
Comments
Post a Comment