Skip to main content

Vas Tua



Satu hal yang paling membuatku pilu perihal dirimu adalah; kau terlalu baik dan sempurna untuk sebuah vas bunga yang retak selayaknya diriku.

Perumpama sebuah wadah, bunga yang ada di dalam jiwaku hanyalah sekumpulan ranting-ranting tua yang sudah dipanggil usianya. Tidak lagi ada aroma wangi yang menggugah maupun corak warna-warni yang pastinya membuatmu jatuh hati. Sadarlah, aku ini hanyalah sebuah vas tua berisi air berwarna coklat dengan bunga mataharinya yang telah meredup.

Sedang kau, perumpama lintasan jutaan bintang di galaksi yang hanya terjadi satu kali dalam satu juta tahun cahaya, kau terlahir istimewa. Sang bulan dan mentari mencium hangat jiwamu di kala pertama kau membuka mata, seakan-akan segala hal yang kau sentuh berubah menjadi emas dan berharga.

Dan aku di sini pernah berharap bisa menjadi salah satu penikmat dari terbakarnya kotamu di kala sedang bermandikan jingganya sang senja. Pernah berharap menjadi seekor rusa putih yang berlarian bersama kunang-kunang di rimbunnya hutanmu. Aku pernah berharap, entah syukur atau celakanya, itu terkabul.

Untuk sepersekian waktu dalam hidupku mungkin, aku pernah tahu bagaimana rasanya menjadi emas dan harta karun. Untuk sekali dalam pertama hidupku, jantung jiwaku pernah kau genggam penuh. Semuanya terurai rapi seperti puisi dan sajak yang kutulis ini. Untuk pertama kalinya juga, aku pernah berkelana pada jalan-jalan sepi kotamu di malam yang sunyi, pernah terbuai oleh tarian kunang-kunangmu.

Untuk pertama kalinya, vas retak yang tak pernah merasakan jatuh, kali ini berserak-serak tak karuan. 

Vas tua sepertiku tidak kuasa menahan rangkaian bunga sebesar dan semegah dirimu. Aku mungkin tak pantas. 

Hingga semua yang awalnya kulihat sebagai anugerah berakhir pada sebuah kepergian yang ku paksa. Aku tahu tempat paling gelap pada sudut kotamu, berapa banyak kuburan yang terbentuk tepat di dalam hutanmu, dan semua senja yang tadinya ku puja, tidak akan pernah lagi sama. Segala kurang dan lemahnya dirimu, pernah kutemui, tapi bagiku kau tetap menawan hati.

Akunya saja yang tidak bisa bersanding.

Dan lagi,

Apalah pula sajak ini, tidak tahu jalannya menuju syukur atau hancur.



Jakarta, 01 September 2022

Comments

Popular posts from this blog

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Nama Tengah

Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa. Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu. Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu. Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi