Selamat tanggal satu,
Aku rindu saat-saat kita bersemayam di balik bayangan perihal kejamnya dunia dengan cara menikmati lantunan melodi. Aku rindu caramu mematri prasangka pada benak imaji nalarku, lewat tatapanmu yang menegaskan, perkataanmu yang lugas, nalarku perlahan terbias.
Selamat tanggal satu,
Katanya aku lebih baik mendekam dalam kelam dan sunyi, daripada harus bersuara menggelegar memperjuangkan diri. Rapi-rapi kau lebarkan lenganmu dengan cara memeluk jiwa dan ragaku. Hingga rasanya aku aman berada bersamamu. Padahal nyatanya, aku bukanlah satu yang kau simpan dengan kagum.
Selamat tanggal satu,
Aku rindu caramu menaruh batu bata pertama atas semuanya yang telah terjadi. Aku ingat jelas segala jejak tangan dan kaki yang kau tinggali pada tubuh seseorang secara tidak manusiawi. Aku rindu caramu memainkan aksara, hingga memanipulasi adalah hal yang kau nikmati.
Selamat tanggal satu,
Rasanya lidah dan ragamu itu adalah paket sempurna untuk sebuah karikatur manusia. Namun bedanya, hatimu terbagi rata oleh banyak pasang mata. Dan yang membuatku pilu dengan segala tragedi ini adalah, bahwa faktanya aku kalah di bawah pergi dan sajak elegi.
Selamat tanggal satu,
Dan mungkin juga aku sudah terlalu jatuh pada segala bohong dan kompilasi dusta yang kau utarakan. Dan mungkin juga aku telah lama tercuci oleh segala binar cahaya pada netramu. Dan mungkin juga dalam bayangan aku lebih nyaman mendekam, pada semua kenyataan kelam yang kau tinggalkan.
Aku kalah pada segala hal yang telah kau utarakan dan laksanakan. Dan juga aku jatuh pada rangkulan lengan yang kau lebarkan ntah apa di sebutnya
"... Tiga tahun tak terasa, masih kau yang ada, bodoh yang sebenarnya."
Jakarta, 01 Juni 2022
Comments
Post a Comment