Skip to main content

Selamat tanggal satu

Selamat tanggal satu,

Aku rindu saat-saat kita bersemayam di balik bayangan perihal kejamnya dunia dengan cara menikmati lantunan melodi. Aku rindu caramu mematri prasangka pada benak imaji nalarku, lewat tatapanmu yang menegaskan, perkataanmu yang lugas, nalarku perlahan terbias.

Selamat tanggal satu,
Katanya aku lebih baik mendekam dalam kelam dan sunyi, daripada harus bersuara menggelegar memperjuangkan diri. Rapi-rapi kau lebarkan lenganmu dengan cara memeluk jiwa dan ragaku. Hingga rasanya aku aman berada bersamamu. Padahal nyatanya, aku bukanlah satu yang kau simpan dengan kagum.

Selamat tanggal satu,
Aku rindu caramu menaruh batu bata pertama atas semuanya yang telah terjadi. Aku ingat jelas segala jejak tangan dan kaki yang kau tinggali pada tubuh seseorang secara tidak manusiawi. Aku rindu caramu memainkan aksara, hingga memanipulasi adalah hal yang kau nikmati.

Selamat tanggal satu,
Rasanya lidah dan ragamu itu adalah paket sempurna untuk sebuah karikatur manusia. Namun bedanya, hatimu terbagi rata oleh banyak pasang mata. Dan yang membuatku pilu dengan segala tragedi ini adalah, bahwa faktanya aku kalah di bawah pergi dan sajak elegi.

Selamat tanggal satu,
Dan mungkin juga aku sudah terlalu jatuh pada segala bohong dan kompilasi dusta yang kau utarakan. Dan mungkin juga aku telah lama tercuci oleh segala binar cahaya pada netramu. Dan mungkin juga dalam bayangan aku lebih nyaman mendekam, pada semua kenyataan kelam yang kau tinggalkan.

Aku kalah pada segala hal yang telah kau utarakan dan laksanakan. Dan juga aku jatuh pada rangkulan lengan yang kau lebarkan ntah apa di sebutnya

"... Tiga tahun tak terasa, masih kau yang ada, bodoh yang sebenarnya."


Jakarta, 01 Juni 2022

Comments

Popular posts from this blog

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Nama Tengah

Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa. Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu. Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu. Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi