Pada bintang, aku menceritakan segalanya tentangmu.
Tepat di antara susunan konstelasi asterik yang terjaring rapi pada awan malam, suara lembutku mengisi lorong-lorong telinga Sirius dan Bellatrix. Aku merangkai seluruh bunga dan bencana perihal hadirmu di pagi buta dan malam senyap. Aku bercerita tentangmu kepada jutaan saksi cahaya atas netraku yang berbinar dan bibir bergetar. Rasanya, jikalau kujabarkan hanya dengan rangkaian suara dan aksara, maka kamus dan arsip dalam perpustakaanku sangat miskin makna.
Tentangmu yang begitu paripurna, aku jatuh cinta dengan untaian rambut hitammu. Aku ingin semalam saja terdampar di dalam pulau bahasa bersama candra dan gemerlap lautan bintang hanya untuk mengenang rekaman suasana kala itu. Kau duduk di bawah pohon rindang sendirian, bergelayut dengan sejuta warna kelam, kau mendekretkan jiwa misterimu; rambutmu diusap lembut oleh anginーitu tanganku dalam wujud doa.
Tentang senyummu yang cemerlang, kau mengukir cekungan selayaknya sepasang kedasih mungil pada pipimu. Sedang aku, hanya melihat dari jauh segalanya tentang gerak-gerikmu. Anggap saja aku ini adalah sebuah patung, maka hadirku hanya sebagai saksi bisu. Kemudian dirimu adalah peristiwa sejarah yang paling hafal kurapal dalam ruangan kedap suara. Hadirku hanya sebagai patung, menikmati semuanya dari balik bayang-bayang semu, tidak boleh menaruh rasa maupun karsa.
Tentang struktur tanganmu itu, aku melihat sejuta alur takdir yang tidak tertulis namaku padanya. Mungkinkah aku adalah debu yang tidak sengaja singgah dan menghilang dalam basuhan airーtidak masalah jikalau itu air matamu. Oh rasi bintang, bisakah untuk sehari saja aku berbicara padanya? Berdiri di depan sepatunya sembari menyimpan memori ke dalam amigdala ini? Tidak apa jikalau hanya satu kalimat; kusebut nama lengkapnya dengan yakin.
Untuk sekarang satu-satunya hal yang bisa kunikmati adalah berlayar pada dermaga khayal. Perihal memakan hari beriringan dengan rontoknya gigi kita satu-persatu, menggambar kerut pada kulit yang sudah secokelat daun berguguran, dan tulang yang sebentar lagi menuju runtuh. Karenanya aku tahu, kamu adalah sebuah negara dan aku adalah pengelana tanpa petaーhadirku kecil mungkinnya di gedung imigrasi hatimu.
Pada bintang, aku menggelantungkan harapku pada kartikanya.
Jakarta, 01 Mei 2022
Comments
Post a Comment