Skip to main content

Kisah

Pada bintang, aku menceritakan segalanya tentangmu.

Tepat di antara susunan konstelasi asterik yang terjaring rapi pada awan malam, suara lembutku mengisi lorong-lorong telinga Sirius dan Bellatrix. Aku merangkai seluruh bunga dan bencana perihal hadirmu di pagi buta dan malam senyap. Aku bercerita tentangmu kepada jutaan saksi cahaya atas netraku yang berbinar dan bibir bergetar. Rasanya, jikalau kujabarkan hanya dengan rangkaian suara dan aksara, maka kamus dan arsip dalam perpustakaanku sangat miskin makna.

Tentangmu yang begitu paripurna, aku jatuh cinta dengan untaian rambut hitammu. Aku ingin semalam saja terdampar di dalam pulau bahasa bersama candra dan gemerlap lautan bintang hanya untuk mengenang rekaman suasana kala itu. Kau duduk di bawah pohon rindang sendirian, bergelayut dengan sejuta warna kelam, kau mendekretkan jiwa misterimu; rambutmu diusap lembut oleh anginーitu tanganku dalam wujud doa.

Tentang senyummu yang cemerlang, kau mengukir cekungan selayaknya sepasang kedasih mungil pada pipimu. Sedang aku, hanya melihat dari jauh segalanya tentang gerak-gerikmu. Anggap saja aku ini adalah sebuah patung, maka hadirku hanya sebagai saksi bisu. Kemudian dirimu adalah peristiwa sejarah yang paling hafal kurapal dalam ruangan kedap suara. Hadirku hanya sebagai patung, menikmati semuanya dari balik bayang-bayang semu, tidak boleh menaruh rasa maupun karsa.

Tentang struktur tanganmu itu, aku melihat sejuta alur takdir yang tidak tertulis namaku padanya. Mungkinkah aku adalah debu yang tidak sengaja singgah dan menghilang dalam basuhan airーtidak masalah jikalau itu air matamu. Oh rasi bintang, bisakah untuk sehari saja aku berbicara padanya? Berdiri di depan sepatunya sembari menyimpan memori ke dalam amigdala ini? Tidak apa jikalau hanya satu kalimat; kusebut nama lengkapnya dengan yakin.

Untuk sekarang satu-satunya hal yang bisa kunikmati adalah berlayar pada dermaga khayal. Perihal memakan hari beriringan dengan rontoknya gigi kita satu-persatu, menggambar kerut pada kulit yang sudah secokelat daun berguguran, dan tulang yang sebentar lagi menuju runtuh. Karenanya aku tahu, kamu adalah sebuah negara dan aku adalah pengelana tanpa petaーhadirku kecil mungkinnya di gedung imigrasi hatimu.

Pada bintang, aku menggelantungkan harapku pada kartikanya.



Jakarta, 01 Mei 2022

Comments

Popular posts from this blog

5%

Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan.   Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen.   Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...

Dua Awan di Langit yang Sama

Kita bagai dua awan yang mengembara,   terikat oleh angin yang sama,   namun selalu terhalang cakrawala   yang memisahkan rindu dari nyata.   Kau adalah senja yang kusimpan dalam doa,   warna jingga yang mengalun pelan,   sedang aku hanyalah fajar   yang selalu datang terlalu pagi—   terlalu cepat untuk menyapamu,   terlambat untuk menahanmu pergi.   Di antara kita, ada musim yang bersekongkol:   hujan menjadikan kita asing,   matahari menjadikan kita bayang-bayang,   dan malam—   ah, malam hanya diam   memungut sisa-sisa percakapan   yang tak sempat terucap.   Pernahkah kau dengar   bisik dedaunan saat rintik mulai turun?   Itulah suara kerinduanku:   senyap, basah,   terbawa arus selokan yang tak punya muara,   mengalir ke laut yang tak tahu   bet...