Skip to main content

Elegi

Pada mata yang menatap dengan tajam, menghanyutkan jiwa ke dalam pusaran dunia penuh kasih.

Masih teringat jelas saat pandangmu menatapku teduh, membawa damai dalam relung jiwa yang dilandah gundah. Bahkan tak bisa kupungkiri, sorot matamu mampu membuat separuh duniaku porak-peranda.

Sesal, sesak, terlambat hanya bisa diam menjadi patung. 
Larut dalam kesendirian tak berbentuk. Ingin menyatu denganmu kembali, tetapi pelangi telah dilalap api.

Kasih, sekali saja kupeluk ragamu yang telah hancur karena ulahku. Akan kubentuk kembali bersamaan dengan rasa yang t'lah pudar dan terima aku menjadi dayangmu lagi.

Kasih, sekali lagi saja kuelus duniamu yang telah kacau karenaku. Akan kurancang lagi bersamaan dengan kenangan yang (tak) pudar. Meski semua tak sama seperti sedia kala. Tak serupa layaknya aku dan kamu saat itu.

Namun, setidaknya di antara kita masih dapat mengukir kisah yang dibumbui asmara. 

Demi hujan yang rela jatuh ke tanah,
Demi surya yang rela bersinar gemilang,
Demi kamu, yang masih mendekam dalam kalbu.

Berbahagialah kembali, meski mimpi mati di musim semi dan dingin malam melekat sesak di hati.


Jakarta, 02 September 2020

Comments

Popular posts from this blog

Usang

Kita ialah suatu hal yang usang dan enggan asing. Menolak melupa bahwa segalanya telah kau buat. Menciptakan ilusi yang membuatku mematung. Kau, ialah sosok paling ulung. Merasuk masuk dalam relung hati yang tengah buntung. Kini dirimu layaknya fatamorgana dalam hamparan gurun di bawah sang surya. Hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah tergapai walau seberapa kuat berusaha. Enggan digapai walau sebatas menaruh rasa. Kita, ialah sebuah usang yang enggan asing. Semakin lekang dan terus menggantung. Jakarta, 31 Juli 2023

Nama Tengah

Dari mencintaimu, aku belajar apa artinya kegagalan. Bukan berarti sebelumnya aku tidak pernah gagal. Hanya saja, baru saat mencintaimu aku sepertinya berhasil menerima rasa pahit dari kegagalan itu dengan jiwa yang lebih terbuka. Entah kenapa. Dari mencintaimu juga, aku belajar apa itu kekalahan. Tentu tidak berarti sebelumnya aku tidak pernah kalah, sudah sering, bahkan barangkali “kalah” telah menjadi nama tengahku. Hanya saja, memandang bahwa kalah adalah senjata terbaik Tuhan untuk membentuk diriku jauh lebih utuh, baru bisa kupahami setelah mengenalmu. Heran juga kenapa bisa seperti itu. Aku tidak tahu, apakah murni karena kamu ataukah memang sudah waktunya aku mendewasa dari setiap keping sakit yang menjadi koleksi dalam etalase hidupku. Barangkali begitu. Dan aku percaya, bahwa jalan ini masih begitu panjang. Patah hati bukan alasan untuk berhenti berjuang. Berjuang menata hidupku sendiri tentunya. Bukan untukmu atau untuk sesiapa di luar sana. Namun untukku, untuk

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi