Skip to main content

Lucu?

Pemilihan Umum, siklus yang terjadi 5 tahun sekali di negeri lucu ini, kenpa lucu? ya, wajar saya berkata lucu, karena pada pemilu ini segala hal tidak mungkin akan menjadi mungkin, haha seperti dreamland di film dumbo saja. Tapi memang itu kenyataannya, coba kita lihat lebih mendalam, dari badan penyelenggara, badan pengawas, partai politik, dan para calon, gimik semata untuk pencitraan, tapi tanpa mereka negeri ini tidak akan seseru ini. Saya bukan ingin mempertanyakan para badan penyelengara dan pengawasnya, yaa mungkin di pusat mereka terlihat gagah dan kokoh, tapi coba kita tengok ke bagian paling bawah, tempat dimana titik awal pengambilan suara, lucu? haha paling tidak menurut saya seperti itu.

Itu dari sisi penyelenggara, belum lagi kita lihat ke ranah para pengusung sang regulator di setiap tingkatan, dengan senyum selebarnya dan sapaan yang begitu hangat seperti teh buatan ibu. Mungkin para calon-calon ini terlihat demikian di publik, tapi bagaimana keadaannya di dalam tubuh si pengusung? saling bunuh satu sama lain dalam satu badan. Mungkin beberapa orang akan berkata "hal yang biasa seperti itu di dalam politik", dan itu yang membuat saya merasa lucu, apa membunuh kawan itu menjadi hal yang di wajarkan? apa lagi membunuh si pengusung, lucu? haha paling tidak menurut saya seperti itu.

17 April kemarin, untuk pertama kalinya (kalau saya tidak salah) dilaksanakan pemilihan umum secara serentak, beberapa belahan masyarakat bersorak, dan beberapa belahan masyarakat lainnya berteriak. Bersorak karena menyambut agenda 5 tahunan itu dan berteriak karena harus dipaksa atau terpaksa menjual si calon penguasa negeri. Banyak lembaga beradu dalam penghitungan, dengan mengandalkan para petugas lapangan yang di percaya cepat dan akurat disebar kepenjuru negeri, dari kota-kota besar sampai desa-desa terpencil. Begitu semangat dan bergairah seluruh elemen yang ada di negeri  ini mendengar kabar  itu. Sejujurnya saya tidak tahu harus berkata apa tentang pemilu ini, mungkin terlalu bangga atau mungkin terlalu hina, karena melihat fenomena yang ada. Percayalah masih ada mereka-mereka para penduduk pelosok, yang murni inginkan perubahan, tidak seperti di kota,  penuh retorika yang menghasilkan para tuna logika, lucu? haha paling tidak menurut saya seperti itu.

Jakarta, 19 April 2019

Comments

Popular posts from this blog

5%

Dia selalu datang ketika langit mulai kehilangan birunya, ketika senja merangkak pelan dari balik jendela. Seperti daun yang jatuh tak memilih tanah, begitu pula dirinya—tak pernah memilih untuk berhenti meminta, berharap, atau berdoa. Entah sejak kapan angka itu melekat dalam benaknya: lima persen. Sebuah fraksi yang mungkin bagi banyak orang tak berarti apa-apa, tapi baginya, itu adalah seluruh ruang yang tersisa di antara kepastian dan kehampaan.   Dunia ini luas, pikirnya. Setiap detik, ada jutaan tangan terkatup, jutaan bibir berbisik permintaan. Tapi dari semua itu, hanya segelintir yang sampai—seperti butiran debu yang tersaring oleh angin, hanya sedikit yang benar-benar menempel. mendapat lima persen.   Lima persen mungkin terkesan kecil, tapi kalau itu adalah lima persen dari seluruh dunia, dari seseorang yang tak pernah berhenti memintanya—maka itu bukan lagi sekadar angka. Itu adalah sisa cahaya yang tersisa di antara gelap, sepotong waktu yang...

Seperti kata pak Sapardi

Di bawah hujan yang turun di bulan Juni, Ada perasaan yang mengalir bersama tetes-tetesnya, Mengalir dalam diam, menggenangi relung hati, Menghanyutkan ingatan pada sosokmu yang jauh. Hujan yang jatuh perlahan, Seperti bisikan lembut dari angkasa, Mengisi kekosongan yang hening, Menyentuh rasa yang tak terungkapkan. Setiap tetesnya adalah cerita, Tentang hari-hari yang kita lewati bersama, Tentang senyum yang pernah menghiasi senja, Namun kini hanya tinggal bayangan samar. Dalam setiap rintik hujan, Ada harapan yang kusematkan, Agar jarak yang memisahkan segera sirna, Dan kita bisa bersama lagi dalam nyata. Bulan Juni yang dingin dan lembab, Menyimpan sejuta kenangan dalam tetes airnya, Seperti hatiku yang penuh oleh ingatan, Namun tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Di setiap deras hujan yang turun, Aku teringat pada suara tawamu, Yang mengalir seperti aliran sungai, Menenangkan setiap resah yang ada. Hujan di bulan Juni adalah saksi bisu, Perasaan yang tumbuh dalam sunyi...

Dua Awan di Langit yang Sama

Kita bagai dua awan yang mengembara,   terikat oleh angin yang sama,   namun selalu terhalang cakrawala   yang memisahkan rindu dari nyata.   Kau adalah senja yang kusimpan dalam doa,   warna jingga yang mengalun pelan,   sedang aku hanyalah fajar   yang selalu datang terlalu pagi—   terlalu cepat untuk menyapamu,   terlambat untuk menahanmu pergi.   Di antara kita, ada musim yang bersekongkol:   hujan menjadikan kita asing,   matahari menjadikan kita bayang-bayang,   dan malam—   ah, malam hanya diam   memungut sisa-sisa percakapan   yang tak sempat terucap.   Pernahkah kau dengar   bisik dedaunan saat rintik mulai turun?   Itulah suara kerinduanku:   senyap, basah,   terbawa arus selokan yang tak punya muara,   mengalir ke laut yang tak tahu   bet...