Skip to main content

Posts

Showing posts from 2019

1 / 365

Pergantian tahun kali ini ramai jika dirasa, turunnya hujan di iringi oleh letusan petasan dan kembang api ala tahun baru Jalanan dan mall serta tempat wisata dipenuhi oleh pengunjung untuk menikmati Semua elemen turit memeriahkan, berbagi asa, suka dan duka, serta resolusi di meriahkan Tapi entah mengapa di tahun ini sedikit berbeda agaknya Ada suatu hal yang menjadi tujuan selama ini Yang menjadi titik selama ini Menginginkan untuk pergi... Jujur saja, saya belum siap, puan Jujur saja, saya tidak bisa, puan Jujur saja, saya hanya ingin bersamamu, puan Izinkan hamba yang menghamba ini mendapatkan sedikit kesempatan Izinkan hamba yang menghamba ini mendapatkan secercah harapan Izinkan hamba yang menghamba ini diberikan kepercayaan, setidaknya untuk terakhir kali Sungguh, entah apa yang akan yang akan terjadi jika hamba tanpa puan, Entah seperti apa hamba sampai hari ini jika tanpa puan Entah seperti apa, jika nanti tidak bersama, puan Maafkan atas segala aku untuk keak

Lucu?

Pemilihan Umum, siklus yang terjadi 5 tahun sekali di negeri lucu ini, kenpa lucu? ya, wajar saya berkata lucu, karena pada pemilu ini segala hal tidak mungkin akan menjadi mungkin, haha seperti dreamland di film dumbo saja. Tapi memang itu kenyataannya, coba kita lihat lebih mendalam, dari badan penyelenggara, badan pengawas, partai politik, dan para calon, gimik semata untuk pencitraan, tapi tanpa mereka negeri ini tidak akan seseru ini. Saya bukan ingin mempertanyakan para badan penyelengara dan pengawasnya, yaa mungkin di pusat mereka terlihat gagah dan kokoh, tapi coba kita tengok ke bagian paling bawah, tempat dimana titik awal pengambilan suara, lucu? haha paling tidak menurut saya seperti itu. Itu dari sisi penyelenggara, belum lagi kita lihat ke ranah para pengusung sang regulator di setiap tingkatan, dengan senyum selebarnya dan sapaan yang begitu hangat seperti teh buatan ibu. Mungkin para calon-calon ini terlihat demikian di publik, tapi bagaimana keadaannya di dalam tubu

Hujan

Ketika air menghantam tanah dengan iramanya, saat itu pula tanda tanya yang membenak terjelaskan. Aneh, merasa kehilangan bahkan disaat tidak mendekati kata memiliki, 2 kondisi yang bertolak belakang itu yang membuatku terhanyut dalam setiap hantaman hujan terbadap tanah. Mungkin, saat itu tanah pun ingin mempertanyakan, bagimana bisa setelah hujan menyirami tanah dengan derasnya lalu bisa pergi tanpa bersisa, tapi apalah daya si tanah yang hanya bisa berasumsi, menunggu suatu hal yang selalu menjadi ekspetasi, berlebihan memang, tapi itulah tanah, tidak dapat menuntut hanya bisa menunggu datangnya sang hujan. Hari demi hari berlalu, dan bodohnya sang tanah tetap menunggu datangnya hujan yang dirindukan membanjirinya, dan ketika hujan itu datang, sang tanahpun menyadari, bahwa hujan yang dirindukan tidaklah merindukan sang tanah, hanya mengugurkan kewajibannya sebagai hujan untuk membasahi, untuk memberikan kehidupan di tanah. Walaupun hujan bukannya milik tanah, tapi tanah selalu