Merupakan sebuah fenomena yang niskala. Bagaimana sebuah nama anak manusia, hanya dengan menyebutnya saja, mampu membuat jantungmu begitu berdarah dan mendambakan sebuah sejarah usang untuk kembali menjadi ada dan nyata. Ketika mendung masih setia menjadi atap rumah kita, musim kemarau telah sampai di pelupuk mataku; merenggut hujan. Bayangmu tak lagi subur; daunmu gugur; rantingmu patah, akarmu enggan mengakar dan kau tumbang —riang mengecup kepergian. Selepas hujan di mataku menumpahkan amarah paling jujur, kau paksa mendung untuk lupa bagaimana caranya berkabung. —dan aku gagal menjaga degupmu. Kini, pada mata yang punggungnya retak dicumbu kemarau, aku merawat nyala api dari bayangmu yang mengering; Mengusir dingin di pekatnya hening yang enggan berpaling. Dan, dalam realitasku fe...