Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2022

Pukah

Malam mengetuk jendela sepi yang mendekap tubuhnya sendiri, dibisikannya partitur hampa pengiring elegi atas dua hulu sungai yang tengah bermonolog dengan takdirnya. Bibir ini masih terpasung kenyataan, enggan bergumam mengutarakan gelisah atau mencari lengan ibu untuk sekadar basa-basi Maa, anakmu patah hati. Namun, itu hanya bagian dari elegi. Nada yang mengalun di antara bantal yang basah, sebab dua hulu sungai telah kehilangan hilirnya. Menyisakan renjana yang mulai lapuk, pun rasa kembali remuk. Maa, anakmu patah hati. Lantas sayup-sayup hujan turun. Bukan hanya partitur hampa, kini gulita menampar lapuknya renjana. Menyajikan hidangan makan malam, ialah duka yang dikemas kerisauan. Maa, anakmu patah hati. Pada lembar monokrom kala mata terpejam, terlukis imaji dan tiap jengkal memoar yang pernah diutarakan. Menjadi penyempurna untuk renjana yang mulai lapuk, dan rasa yang benar-benar remuk. Jakarta, 07 Oktober 2022