Desember kala itu mulai sedikit kabur, Kasih. Hampir seperti lukisan yang sureal malah. Kau dan aku. Kita menjadi sepasang dara muda yang beranamorfosis, menumbuhkan sepasang sayap baru. Melarikan diri dari terungku sarang-sarang yang muram. Kita begitu naif, aku tahu. Tanpa banyak cendala. Tanpa banyak mendung di bumantara. Tanpa memunculkan angan dalam pusara. Kereta itu menerjang masa lalu yang bergelimang nestapa. Kita menuju, menuju, dengan apa kau menyebutnya? Benar. Sesuatu yang lebih paripurna. Sesuatu yang lebih bergelora. Dari jendela-jendela yang malang itu senja menyusup merambati wajahmu. Meski begitu, dalam pandangku baskara di planet ini telah kalah tanding. Kalah tanding dengan cendayam wujudmu yang lebih amerta dibanding panorama nan fana itu. Maksudku, senja itu jingga, sedang dirimu adalah jatarupa. Maka tidak sudi bila harus kutulis sesuatu yang memuja dan meninggikan derajat senja, sedang di mayapada ini telah dilahirkan sesosok dirimu yang lebih mulia....